Metode Pembiasaan Dalam Pembelajaran PAI

 METODE PEMBIASAAN DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Metode Pembiasaan Dalam Pembelajaran PAI
Metode Pembiasaan Dalam Pembelajaran PAI

1.      Pengertian Metode Pembiasaan

Metode/ methode berasal dari bahasa Yunani (Greeka) yaitu metha dan hodos. Metha berarti melalui/ melewati, dan hodos berarti jalan/ cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu (Zuhairini dkk, 1993: 66).
Sedangkan pengertian pembiasaan, Muhammad Rasyid Dimas mendefinisikan pembiasaan maksudnya adalah membiasakan anak untuk melakukan hal-hal tertentu sehingga menjadi kebiasaan yang mendarah daging, yang untuk melakukannya tidak perlu pengarahan lagi. Contohnya yang paling menonjol tentang kebiasaan dalam sistem pendidikan Islam adalah ibadah-ibadah ritual seperti halnya shalat. Dengan pembiasaan, shalat menjadi kebiasaan manusia yang bila dilaksanakan seseorang akan merasakan tidak senang (2005: 47).
Dalam kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam (Armai Arief, 2002: 111).
Dengan berbagai pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya metode pembiasaan adalah cara yang ditempuh oleh sekolah untuk membiasakan anak didiknya melaksanakan amalan-amalan/ajaran-ajaran keagamaan sehingga mampu mewujudkan tujuan mata pelajaran pendidikan agama Islam dan memberikan bekal bagi jiwa keberagamaan siswa selanjutnya. 

2.      Dasar dan Tujuan Metode Pembiasaan

a.       Dasar Metode Pembiasaan
1)      Dasar Agama
Pendidik muslim mengambil banyak cara-cara, tujuan-tujuan, dan prinsip pengajarannya dari Allah dan sunnah Nabi-Nya, dan juga dari perkataan dan amalan ulama-ulama Islam dari nenek moyang yang soleh, baik diambil dari pengalaman-pengalamannya yang khas maupun dari hasil penyelidikan dan penelitiannya sendiri atau orang lain yang diambil dari firman Allah, contohnya dalam QS. Ar-Rum: 30 yang artinya Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”.
Sedangkan yang diambil dari sunnah Nabi, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, sebagaimana dituliskan dalam pendahuluan:
كلّ مولود الاّيولد على الفطرة….
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah ….”
Dari firman Allah dan Hadits Rasul tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia dilahirkan dengan naluri tauhid dan iman kepada Allah. Dari sini tampak peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam menemukan tauhid yang murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur dan etika religi yang lurus (Abdullah Nashih Ulwan, 1994: 185).
Adapun yang berasal dari perkataan dan amalan ulama Islam contohnya, pernyataan Imam Al-Ghazali mengenai kebiasaan anak berperangai baik atau jahat dengan kecenderungan nalurinya (dikutip   Abdullah Nashih Ulwan, 1994: 194), bahwasanya: “Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya, hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal hartanya jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang, ia akan celaka dan binasa.  Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan mengajari akhlak yang baik”
2)      Dasar Bio-Psikologis
Adanya dasar biologis, mewajibkan guru untuk memelihara metode teknik pengajarannya ciri-ciri, kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, dan tahap kematangan muridnya. Ia harus memperhatikan bahwa murid-murid itu mempunyai kebutuhan bio-fisik yang harus dipuaskan dan dipenuhi supaya tercapai penyesuaian jasmani, psikologis dan sosial yang sehat, seperti kebutuhan kepada udara yang bersih, kebutuhan kepada gerakan dan aktivitas dan kebutuhan kepada istirahat dan tidur dan sebagainya.
Sedangkan dasar psikologis, yang dimaksudkan adalah sejumlah kekuatan psikologis termasuk motivasi, kebutuhan emosi, minat, sikap keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal (intelektual). Oleh karena itu guru harus berusaha memelihara kebutuhan-kebutuhan tersebut.
3)      Dasar Sosial
Metode mengajar guru muslim juga terpengaruh oleh faktorfaktor masyarakat tempat tinggalnya, oleh karena itu guru seharusnya dalam metode mengajarnya seia sekata dan bersesuaian dengan nilai-nilai masyarakat dan tradisi-tradisinya yang baik dan dengan tujuan-tujuan, kebutuhan-kebutuhan, harapan-harapannya terhadap anggota-anggotanya dan tuntutan-tuntutan kehidupan yang berada dalam masyarakat tersebut. Begitu juga ia harus menjaga perubahan-perubahan yang berlaku di dalamnya dan berusaha mengadakan perubahan yang baik, mengambil manfaat dari fasilitas dan peluang-peluang yang ada di dalamnya.
b.      Tujuan Metode Pembiasaan
     Tujuan dari metode pembiasaan dalam pendidikan agama Islam di antaranya sebagaimana diungkapkan oleh Al-Ghazali bahwa setiap perbuatan baik yang sudah  menjadi kebiasaan, maka akhlak itu baik akan terpatri dalam dirinya. Dari sini dapat dipahami rahasia yang ada di balik perintah syariat untuk melakukan kebaikan, yaitu dalam rangka mengubah hati dari bentuknya (karakter) yang jelek kepada yang baik, walaupun seseorang melakukannya dengan susah dan terpaksa, namun tetap akan membekas pada dirinya dan menjadi bagian dari jati dirinya.
    Coba perhatikan anak kecil yang pada hari-hari awal pergi ke sekolah secara terpaksa, namun karena terus dipaksa demikian hingga akhirnya belajar menjadi bagian  dari dirinya dan akhirnya merasakan lezatnya belajar dan mencari ilmu. Sebaliknya orang-orang yang dibiasakan bermain-main dengan burung merpati atau dengan catur atau bermain judi maka dunia judi akan menjadi bagian dari gaya hidupnya (Ibrahim Amini, 2006: 300).
  Selain bertujuan untuk pembentukan kepribadian, metode pembiasaan juga penting dilaksanakan untuk membentuk akhlak dan agama anak pada umumnya, karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur politik dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatnya melalui metode pembiasaan itu, akan semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahnya ia memahami ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru agama di belakang hari.
    Jadi agama itu mulai dengan amaliah kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan pertumbuhan jiwanya dan datang pada waktu yang tepat. Misalnya ia dari kecil telah dibiasakan shalat, tanpa mengerti hukumnya, tapi setelah datang waktu yang cocok ia akan mengerti bahwa shalat itu wajib dan lebih jauh lagi setelah ia remaja, dan kemampuan berfikirnya telah memungkinkannya untuk mengetahui hikmah shalat itu dan merasakan manfaat kejiwaan bagi dirinya, demikianlah seterusnya. Contoh lain misalnya si anak dibiasakan jujur dan berkata benar, walaupun ia belum mengerti arti yang sesungguhnya dari kata jujur dan benar itu.  Kemudian sesuai dengan pertumbuhan jiwa dan kecerdasannya barulah diterangkan kepadanya pengertian jujur dan benar itu dan apa pula akibat dan bahaya ketidakjujuran terhadap dirinya dan orang lain (Zakiyah Daradjat, 1970: 65).
     Di halaman yang berbeda, Zakiyah Daradjat juga menuliskan bahwa pendidikan agama di sekolah dasar, merupakan dasar bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak, apabila  guru agama di sekolah dasar mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk kepribadian dan akhlak anak maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja mudah dan si anak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai  goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja. Demikian pula  sebaliknya apabila guru agama  gagal melakukan pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak di sekolah dasar, maka anak-anak akan memasuki masa goncang pada usia remaja itu, dengan kegoncangan dan sikap negatif, kenakalan dan penyalahgunaan narkotika cenderung acuh tak acuh, anti agama atau sekurang-kurangnya ia tidak akan merasakan pentingnya agama bagi  dirinya, tapi sebaliknya anak yang banyak mendapat latihan dan pembiasaan agama pada waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan akan agama (Zakiyah Daradjat, 1970: 58, 64). 
   Hal ini sependapat dengan apa yang dituliskan dengan Nashih Ulwan dalam Kitab Tarbiyatul Aulad, tentang pentingnya metode pembiasaan yang diperumpamakan dengan biji pertanian sebagai berikut : 
   ومن الملاحظ فى الملاحظ فى عالم النات أن البذرة حين يضعها الزارع في ارض خصبة, ويتعهد هابالماء والسماد, ويحميهامن الحشرات والطفليات ثم لا يزال يلاحقهافى تهدين أشوالها, وتقويم أغصانها, فان هده البذرة تؤتي أكلهاكل حين بإذن ربها, ويقطف الانسان من ثمارها, ويتفياء ظلالها, ويستغل خيرا تها على مدى الزمان والأيام أما اذاكتب لهذه الذرة نصيبها من التقصير والإهمال, لاتغذّيهاتربة ولا يرويهاماء, ولاتلاحق بالتهدين لأشواكها, والتقويم لأعصانها…. فإنها لاتؤتى أكلا,ولاتعطي زهراولا ثمرا… بل تصبح عماقليل هشيما تذروه الرياح, وتتقاذ فه الأعاصير…

  Inti dari pernyataan tersebut adalah bahwa Nashih Ulwan merumpamakan metode pembiasaan dengan biji yang diletakkan petani dalam tanah yang subut. Jika ia (biji) dipelihara, disirami, diberi pupuk, dijaga dari serangan serangga dan ulat, dijaga pertumbuhannya dengan selalu memetik duri dan meluruskan rantingnya, maka biji tadi mendatangkan buah setiap musim dengan izin Allah. Sebaliknya, jika biji tadi dibiarkan, tidak dirawat, maka biji tersebut tidak akan mendatangkan hasil, bunga atau buah. Bahkan tak lama kemudian akan menjadi rerumputan kering yang kemudian dihempaskan oleh angin dan musnah.
 Metode pembiasaan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam  di sekolah juga merupakan kesempatan pertama  yang sangat baik untuk membina pribadi anak setelah orang tua atau dengan kata lain untuk memperbaiki pribadi anak yang telah terlanjur rusak karena pendidikan dalam keluarga (Zakiyah Daradjat, 1970: 57).
Tujuan selanjutnya, dengan membiasakan anak dengan tingkah laku yang baik akan menjadikan pola pikir dan kelakuan moral yang unggul serta membentuk karakter yang mengagumkan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Al-Farabi, tokoh intelektual muslim yang ditulis oleh UNESCO: International Bureu of Education dalam media-media informasi sebagai berikut : Ethical virtues are acquired by habituation and repetition, until they form a deep-rooted pattern in the mind, whence issues excellent moral behavior.  Admirable when its actions are marked by moderation, with neither  excess nor neglect.

3.      Prinsip dan Syarat Metode Pembiasaan

Pendekatan pembiasaan sesungguhnya sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri anak didik, baik pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Selain itu, pendekatan pembiasaan juga dinilai sangat efisien dalam mengubah kebiasaan negatif menjadi positif.

Namun demikian metode ini akan jauh dari keberhasilan jika dilakukan dengan tidak memperhatikan situasi dan kondisi  dengan cara yang kaku, salah/tidak cocok dengan siswa.  Oleh karena itu pada pelaksanaan metode pembiasaan hendaklah memperhatikan prinsip dan syarat metode pembiasaan.

Prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan Islam (termasuk di dalamnya adalah metode pembiasaan), menurut Omar Muhammad Al-Tomy Al-Saibani sebagaimana dikutip oleh Armai Arief (2002: 93-94) adalah:
  1. Mengetahui motivasi, kebutuuhan dan minat anak didiknya
  2. Mengetahui tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan pendidikan
  3. Mengetahui tahap kematangan, perkembangan serta perubahan anak didik
  4. Mengetahui perbedaan-perbedaan individu di dalam anak didik.
  5. Memperhatikan kepahaman dan mengetahui hubungan-hubungan integrasi pengalaman dan kelanjutannya, keaslian, pembaharuan dan kebebasan berpikir.
  6. Menjadikan proses pendidikan sebagai pengalaman yang menggembirakan bagi anak didik.
  7. Menegakkan “uswah khasanah”.
Sedangkan syarat-syarat pemakaian metode pembiasaan adalah sebagai berikut :
  1. Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat. Usia sejak bayi dinilai waktu yang sangat tepat untuk mengaplikasikan pendekatan ini, karena setiap anak mempunyai rekaman yang cukup kuat dalam menerima pengaruh lingkungan sekitarnya dan secara langsung akan dapat membentuk kepribadian seorang anak. Kebiasaan positif maupun negatif itu akan muncul sesuai dengan  lingkungan yang membentuknya.
  2. Pembiasaan hendaklah dilakukan secara kontinue, teratur dan terprogram, sehingga pada akhirnya akan membentuk sebuah kebiasaan yang utuh, permanen dan konsisten. Oleh karena itu faktor pengawasan sangat menentukan dalam pencapaian keberhasilan dari proses ini.
  3. Pembiasaan hendaknya diawasi secara ketat, konsisten dan tegas, jangan memberi kesempatan yang luas kepada anak didik untuk melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan.
  4. Pembiasaan yang pada mulanya hanya bersifat mekanistis, hendaknya  secara berangsur-angsur dirubah menjadi kebiasaan yang tidak verbalistik dan menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata hati anak didik itu sendiri (Armai Arief, 2002: 114-115).

4.      Kelebihan dan Kelemahan Metode Pembiasaan

Setiap metode pembelajaran tidak ada yang lebih sempurna dibandingkan dengan metode yang lainnya. Tiap metode tersebut memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Satu metode dengan metode yang lainnya bersifat saling melengkapi. Dengan demikian seorang guru dalam mencapai tujuan pembelajarannya dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu metode saja.

Di antara kelebihan dan kelemahan metode pembiasaan adalah sebagai berikut (Armai Arief, 2002: 115-116):

a.    Kelebihan
  1. Dapat menghemat tenaga dan waktu dengan baik.
  2. Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah tetapi juga berhubungan dengan aspek bathiniyah.
  3. Pembiasaan dalam sejarah tercatat sebagai metode yang paling berhasil dalam pembentukan kepribadian anak didik.

b.    Kelemahan
  1. Membutuhkan tenaga pendidik yang benar-benar dapat dijadikan sebagai contoh tauladan didalam menanamkan sebuah nilai kepada  anak didik. Oleh karena itu pendidik yang dibutuhkan dalam mengaplikasikan pendekatan ini adalah pendidik pilihan yang mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan, sehingga tidak ada kesan bahwa pendidik hanya mampu memberikan nilai-nilai tetapi tidak mampu mengamalkan nilai yang disampaikannya terhadap anak didik.
  2. Metode pembiasaan tidak mendidik siswa untuk  menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Kelakuannya berlaku secara otomatis tanpa ia mengetahui baik buruknya sehingga mereka belum tahu kebiasaan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu orang tua harus selalu mengawasi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh anaknya dan memberikan pengetahuan tentang kebiasaan yang baik terhadap tingkah laku, perkataan dan sikap (Ahmad Tafsir, 2005: 114).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Nashih Ulwan,
            1994,Pendidikan Anak dalam Islam Jilid 2, Jakarta: Pustaka Iman.
___________________,
            1415 H, Tarbiyatul Aulad fil Islam Juz 2, Beirut: Darussalam.
Ahmad Tafsir,
            2005,Ilmu Pendidik dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.
A.    Qodry Azizy
2002, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial,Semarang: Aneka Ilmu.
Armai Arief,
            2002,Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, Cet. 1.
Ibrahim Amini,
            2006,Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Al-Huda.
Muhammad Rasyid Dimas,
            2005,25 Kiat Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak, Bandung: Syamil Cipta Media.
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany
            1979,Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 1.
Syamsu Yusuf LN
            2000,Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zakiyah Daradjat
            1970,Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 15.
Zuhairini, Abdul Ghafir dkk
1993, Metodologi Pendidikan Agama I, Surabaya: Ramadhani
www.ibe.unesco.org/fileadmin/user_upload/archive/publications/thinkers.pdf/parabie_pdf

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.