Tiga Potensi dalam Diri Manusia ( Spiritualitas, Fisik, dan Intelektualitas )

Tiga Potensi dalam Diri Manusia ( Spiritualitas, Fisik, dan Intelektualitas ) – Alkisah, seorang bapak pergi mengendarai sepeda ke sebuah rumah sakit besar di kota. Ia berjalan tergopoh-gopoh sekali. Kaosnya basah oleh keringat.

“Saya mau dirawat dok!” Ujar bapak tadi begitu ia bertemu seorang pemuda berpakaian serba putih.

“Saya cuma perawat pak.” Koreksi pemuda berpakaian serba putih tadi.

“Terserah, pokoknya saya mau dirawat di UGD.” Bapak tadi bersikukuh sambil selingukan mencari ruangan bertuliskan UGD.

“Lho, bapak memang sakit apa?” Tanya si perawat bingung demi melihat penampilan si bapak yang segar bugar.

“Um, enggak tahu. Pokoknya saya mau dirawat di sini. Kalau perlu dioperasi!”

“lho koq?”

“Koq, lho? Mana ruang operasinya? Saya mau dioperasi saja !”

“???”

“Koq, bengong. Ya, sudah kalau begitu saya di-USG sajalah !

“Security !”.

Sifat manusia ibarat sebuah penyakit. Saat kita ingin melakukan sesuatu atas diri kita. Maka kita harus tahu “penyakit” apa yang kita derita. Sehingga kita benar-benar bisa tepat melakukan apa yang harus kita lakukan. Maka, kenalilah diri. Dan begitu kita mengenal diri kita, kita pun bisa mengenal Allah. Seperti ucapan Ali bin Abi Thalib r.a yang terkenal, “barang siapa mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya.”

Tiga dalam satu Kita (Manusia)

Setiap kita diciptakan dengan tiga potensi dalam dirinya : ruhiyah, jasdiyah, dan fikriyah (spiritualitas, fisik, dan intelektualitas). Ketiga potensi tadi merupakan modal dasar untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya, sebagaimana fitrah dirinya sebagai makhluk Allah SWT yang diberi banyak kesempurnaan.

Potensi ruhiyah berkaitan dengan unsur keyakinan, kehendak, dan kebebasan memilih. Potensi ini dikendalikan oleh segumpal darah diri kita : hati. Hakikatnya, hati adalah pemimpin dalam diri kita. Bahkan Rasulullah pun sudah menegaskan dalam sebuah haditsnya.

Dalam tubuh ini terdapat segumpal daging yang mengotori semua anggota tubuh lainnya. Jika ia baik, semuanya pun menjadi baik; dan jika ia rusak, semuanya pun macet dan malfungsi. Itulah yang disebut hati
(H.R. Bukhari dan Muslim).

Potensi Spiritualitas

Potensi ruhiyah ini harus kita rawat dan “beri makan” berupa ibadah yang bersifat mahdhah, seperti puasa, shalat, tilawah atau lainnya. Hakikatnya adalah, bagaimana kita bisa menjalin hubungan yang dekat dengan Allah. Hingga pada akhirnya; langkah kaki kita, gerak tangan kita, segala keputusan dan keinginan yang kita kehendaki, selalu berada dalam bimbingan Allah.

Potensi Fisik

Potensi kedua yang dimiliki setiap manusia adalah jasadiyah. Allah telah menganugerahkan kepada kita jasad yang bisa menunjukkan kepada kita sebuah eksistensi diri secara lahir. Dan potensi inilah yang benar-benar bisa kita lihat dari diri kita. Layaknya piring pinjaman, saat kita mengembalikannya maka haruslah dalam keadaan seperti saat kita meminjamnya.

Potensi Intelektualitas

Bila kita dilahirkan dalam keadaan jasad yang bagus maka sudah seharusnya kita tidak merusaknya. Jagalah jasad kita dengan makanan yang halal dan thayib, olah raga yang teratur dan perawatan lainnya yang telah Rasulullah ajarkan. Bahkan, karena terlalu pentingnya hal ini maka Rasulullah pun mewasiatkannya kepada kita melalui haditsnya :

Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu….”
(H.R. Bukhari)

Penuhilah hak tubuh kita. Jangan sampai kita menjadi orang-orang dzalim yang mendzalimi diri kita sendiri. Bukankah Rasulullah pernah menegur dengan keras seorang sahabat yang hendak melakukan shaum sehari semalam tanpa terbuka. Karena Islam tidak pernah mengajarkan sesuatu yang bisa membuat dampak negatif bagi para pemeluknya. Bahkan, jika kita peka dengan beberapa penelitian yang dilakukan baik oleh ummat Islam dan non muslim tentang manfaat beberapa ibadah dan ajaran Islam, maka kita akan menemukan bahwa ibadah-ibadah itu bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita. Ambillah contoh gerakan shalat, hadits tentang lalat yang masuk ke dalam gelas, dan banyak hal lainnya.

Dan potensi terakhir yang dimiliki manusia adalah fikriyah. Potensi inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir. Tidak seperti hewan yang hanya mengandalkan instingnya. Mengenai potensi ini, kita sebagai generasi pendidik maka haruslah mengerti apa yang harus kita berikan untuk mengasah dan mengembangkan potensi ini : ilmu. Tentu saja, ilmu yang bermanfaatlah yang harus kita pelajari. Janganlah mempersempit memori otak kita untuk sesuatu yang tak berguna.

Dan ketiga potensi itu harus kita perhatikan secara seimbang satu sama lainnya. Tak boleh pikir kita melebihi ruh dan jasad kita. Atau sebaliknya. Lihatlah para koruptor yang terlalu mengasah kemampuan pikir mereka tanpa memperdulikan ruh mereka. Hingga tak peduli dengan sifat pekerjaannya. Adillah atas diri kita, sebagaimana Rasulullah mengajarkan kita : kuat spiritual, fisik dan intelektual.

Jadikan Diri Pribadi Sukses

Saat kita bisa menyeimbangkan potensi yang kita miliki, maka kita bisa disebut sebagai pribadi sukses. Untuk contoh nyata, umat Islam sudah punya contoh yang riil : Muhammad SAW. Semua sisi kehidupannya adalah sumber keteladanan. Beliau bukanlah pribadi terpecah (mutamazziqah atau schizfrenia) yang bisa bermaksiat pun beribadah. Beliau adalah pribadi yang utuh menyeluruh. Sebagaimana seharusnya kita mencontohnya.

“Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan ….”
(QS. AL-Baqarah : 208)

Begitupun dengan potensi kita. Kembangkan dan asahlah potensi kita secara menyeluruh. Jadikanlah diri kita sukses, pribadi sukses yang hakiki. Sukses dunia dan akhirat (aminin, dong !).
Untuk melihat karakteristik pribadi muslim yang bisa menjadi pembaharu atas segala keterpurukan yang ada, kita bisa melihat dalam Buku Pedoman Hidup kita :

Hai orang-orang yang berima, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan–Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan, seraya mereka tunduk (kepada Allah)
(QS. Al-Maidah 54-55)

Karakteristik pertama yang harus dimiliki adalah mencintai dan dicintai Allah. Salah satu tanda-tanda cinta adalah yang mencintai akan melakukan apa yang dicintainya sukai lakukanlah apa yang Allah sukai dan jauhilah apa yang dibenci. Dan percayalah, bahwa cinta Allah tidak akan bertepuk sebelah tangan.

Karakteristik kedua adalah bersikap lemah lembut kepada sesama muslim dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Yang perlu diperhatikan adalah, sikap keras hanyalah diberlakukan kepada orang-orang kafir yang nyata-nyata memerangi Islam. Bukan kepada setiap orang kafir. Islam adalah rahmatan lil alamin rahmat untuk seluruh alam semesta bukan hanya ummat Islam saja.

Karakteristik ketiga adalah berjihad atau bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah. Bersungguh-sungguhlah dalam melakukan kebaikan dan bersungguh-sungguh pula dalam menjauhi dan memerangi kemungkaran. Karena harga kinerja akan sebanding dengan usaha yang kita lakukan. Allah tidak akan pernah salah menghitung usaha kita atas perjuangan di jalan-Nya. Hanya saja, kita yang kadang salah hitung. Merasa sudah maksimal, padahal tak ada apa-apanya.

Karakteristik berikutnya adalah tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Ingatlah bahwa celaan tidak sama dengan kritikan. Celaan hanya bersifat menjatuhkan tanpa ada sifat memberi kebaikan. Hadapilah celaan yang dilontarkan oleh musuh Islam dengan keyakinan yang teguh. Yakin bahwa yang kita lakukan adalah sebuah kebaikan yang benar-benar bersumber kepada Al-Qur’an dan Assunnah.

Untuk apa takut jika kita yakin bahwa yang kita lakukan benar. Dan saat yang kita lakukan adalah kebenaran, maka yakinlah bahwa Allah bersama kita. Tak perlu ada yang di takuti jika kita bisa selalu bersama Maha Penguasa alam semesta, Raja dari setiap raja yang ada.

Dan karakteristik yang terakhir adalah beriman dan bertaqwa kepada Allah. Keimanan yang disertai dengan sebuah keyakinan tauhidullah yang kuat. Sehingga kita bisa pasrah tunduk kepada Allah SWT. Sebuah ketundukkan yang tak perlu banyak pertanyaan.

Sifat-sifat tadi-lah yang harusnya menjadi akhlaq seorang muslim. Ketika seorang muslim memiliki akhlaq yang demikian, maka ia bisa disebut sukses.

Binalah Diri Mulai Saat Ini

Banyak orang berkata bahwa, hal yang paling menentukan perubahan seseorang adalah orang itu sendiri. Saat kita memutuskan untuk mengubah diri menjadi pribadi sukses, maka hal yang tidak bisa kita hindari adalah pembinaan diri sendiri (tarbiyah dzatyah). Tarbiyah dzatiyah adalah sebuah proses penempaan yang dilakukan secara fardhi’ atau secara individu. Tarbiyah dzatiyah dilakukan karena ada beberapa penempaan diri yang tidak bisa dilakukan secara jama’i karena kebutuhan tiap orang yang berbeda. Dalam tarbiyah dzatiyah ini, setidaknya ada lima kunci rahasia yang harus kita miliki :

1. Al Fahmu Ad Daqiq (Pemahaman Rinci)

Tak mungkin perubahan terjadi dalam diri kita tanpa tahu dengan pasti apa dan bagaimana perubahan itu. Dan pemahaman yang dimaksud haruslah pemahaman yang bersumber kepada sumber wajib ummat Islam : Al-Qur’an dan As Sunnah. Selain itu juga, kita bisa berpedoman kepada sumber lain yang tetap mengacu kepada dua hal pokok tadi. Selain itu pemahaman di sini termasuk pula pemahaman diri dan pemahaman masalah yang harus dihadapi. Untuk itu, kita bisa mengadopsi cara dalam ilmu manajemen, yaitu analisis SWOT (Strengtheness, Weakness, Opportunities, dan Treatments).

Dalam analisis ini kita mencari kekuatan atau modal apa yang kita punya, kekurangan yang kita punya, hingga kita bisa mencari kesempatan yang mampu dilakukan dan jalan yang dapat digunakan. Dengan menggunakan analisis ini, diharapkan kita bisa memahami lebih dalam diri dan masalah di sekitar kita yang harus dihadapi.

2. Al-Iman Al-Amiq (Iman yang Mendalam)

Yakinkan kepada diri kita bahwa perubahan yang kita lakukan adalah semata-mata karena Allah. Jangan sampai semuanya jadi sia-sia karena tidak adanya keimanan yang mendalam dan utuh dalam setiap gerak-gerik kita. Karena energi iman adalag energi terbesar yang membuat seseorang mampu mengubah dirinya. Dengan kekuatan inilah Rasulullah dan para sahabat mampu mengubah Islam yang hanya berwilayah sempit menjadi berwilayah hampir sepertiga dunia. Energi inilah yang membuat seorang Ismail A.S. berani mengorbankan dirinya, pun Ibrahim A.S. yang rela mentyerahkan putranya kepada Maha Pemilik alam semesta. Subhanallah. Hingga seorang ulama besar menyebut keimanan mereka sebagai keimanan yang hidup. Keimanan yang tak hanya basah dilidah namun meresap basah ke dalam hati kita. Keimanan yang mengantarkan kita dari kegelapan menuju cahaya.

“Allah pelindung orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya …”
(Q.S. Al-Baqarah 257)

3. Al-Ittishal Al-Watsiq (Hubungan yang Kokoh)

Allahusshamad. Jadikanlah Allah sebagai tempat kita bergantung. Karena hanya Ia-lah yang bisa tetap kokoh saat semuanya roboh. Hanya Ia-lah yang bisa tetap terjaga saat semuanya terlelap. Dan hanya Ia-lah yang tetap ingat saat yang lainnya khilaf. Bangunlah hubungan yang kokoh tadi dengan interaksi yang kuat pula. Layaknya kita membangun hubungan yang kokoh dengan seseorang, maka interaksi menjadi modal pokok di sana.

“Maka ingatlah kepada-Ku, aku pun akan ingat kepadamu ….”
(QS. Al-Baqarah 152)

Sempatkanlah untuk bermunajat kepada Nya dalam sepertiga malam terakhir kita. Itulah waktu yang utama.

“Sesungguhnya, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa);
dan (bacaan di waktu itu) lebih berkesan.”
(QS. Al-Muzzammil : 6)

4. Al-Hubb Al-Kamil (Cinta yang Sempurna)

Tumbuhkanlah cinta kepada Nya sebagai sumber ar’i energi perubahan kita. Ingatlah, cinta bisa meringankan perkara berat, mendekatkan yang jauh, menjadikan yang sulit terasa lebih mudah. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa syarat diterima ibadah tidak hanya sekedar ittiba syar’I dan ikhlas tapi juga harus dilandasi rasa cinta yang murni.

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku,
Niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”…
( QS. Ali Imran 31)

Adakah yang lebih berharga dari pada cinta Maha Pemilik cinta ?

5. Al -Amal Al – Mutawashil (Amal yang Berkesinambungan)

Kesuksesan tidak akan bisa tahan lama jika tidak ada kesinambung-an. Perubahan akan terus berubah, teruslah memperbaiki diri kita dari hari ke hari. Tak ada kata henti dalam proses kesuksesan diri menuju perubahan yang lebih baik. Selalu ada yang lebih baik dari kita, selalu ada yang kurang dari setiap kita yang harus terus kita perbaiki.
Namun, pembinaan diri tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa adanya pembinaan secara berjama’ah. Karena serigala akan lebih mudah memangsa domba yang sendiri. Sertailah pembinaan diri kita dengan bergabung dalam jamaah yang bisa membangun perubahan menuju sukses yang hakiki. Bergabunglah bersama mereka yang bisa menjadi cermin evaluator diri kita.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.