SENYUM DALAM SEBINGKAI FOTO

SENYUM DALAM SEBINGKAI FOTO

Cerpen:

Cemerlang kembali duduk di tepi jendela kamarnya, seperti kemarin, dan kemarin sebelumnya. Masih sama, menatap keadaan lengang pada jalan, menuju ke taman yang berada hanya beberapa meter. Tergambar jelas dari binar matanya, tatapan penuh haru, dari jalan yang lengang itu, hingga sampai ke taman yang lengang pula, seakan berseliweran masa-masa silam. Cemerlang terbayang masa kecilnya. Membayangkan suasana di taman itu dulu, disaat ia kecil, ia berlari-lari, bermain dengan ibu dan teman-temanya yang sebaya dengannya.

“Cemerlang sayang, sini dulu nak, ayo…, bensin dulu, bensin dulu.., berhenti dulu. Isi bensin dulu biar larinya kencang, biar tidak capek”.

Itu kata-kata ibunya setiap kali ia menyuapi Cemerlang. Ibunya yang selalu repot membawa piring tempat makan dan mengalungkan tempat minum Cemerlang ke lehernya. Sabar, suap demi suap, dalam waktu yang sangat lama. Layaknya balita lain, setiap makan, Cemerlang selalu disuapi oleh ibunya. Pernah sesekali ia ingin makan sendiri, malah tumpah semua makanan yang ada di piring melaminnya.

“Ibu, Aaaaaa . . . “.
Cemerlang membuka mulut mungilnya, menunggu sesuap makanan yang disuapi oleh ibunya. “Aaem…, enak Bu”. Nada bicara balita lucu, yaitu Cemerlang.

Dari kecil, Cemerlang memang selalu melafalkan kata-kata dengan jelas dan tegas. Perkembangannya lebih cepat dibandingkan dengan balita-balita lain di lingkungan sekitarnya. Belum sampai dua tahun, Cemerlang sudah lancar berjalan, bahkan berlari-lari sampai sering jatuh bangun, tetapi ia bukan anak yang cengeng. Ia menangis jika memang ia benar-benar merasa kesakitan.

Ibunya begitu sabar dan sangat perhatian dengan Cemerlang. Banyak sekali kenangan di taman itu. Teringat juga disetiap kali ibu menyirami tanaman di taman depan rumahnya, Cemerlang selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh ibunya, pikirnya ingin membantu ibu. Tapi, justru ia basah kuyup bermain air dari selang untuk menyiram tanaman. Cemerlang sangat menyayangi ibunya. Kemanapun ibunya pergi, Cemerlang ikut, dan pekerjaan apapun yang dilakukan ibunya, Cemerlang ikut membantu menyelesaikannya. Meskipun terkadang semakin memperparah keadaan menjadi berantakan.

Gerimis mulai berjatuhan. Cemerlang masih menatap suasana lengang jalan dan taman di depan rumah. Entah apa yang ada di benaknya. Nampaknya dia masih betah bergelut dengan pikirannya yang sedang menerawang jauh, semakin terhanyut akan kenangan-kenangan manis semasa kanak-kanaknya dulu. Ketika ia masih melihat senyum sang ibu.

Cemerlang, gadis cilik berusia sepuluh tahun yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar memang belum beranjak dewasa, namun keadaanlah yang memaksa ia untuk dewasa, baik dalam sikap maupun pola pikir, ia lebih dewasa dan terlihat berbeda dengan teman sebayanya. Gadis cilik yang berambut keriting bergelombang, berkulit putih dan bertubuh bongsor ini memang sangat mandiri sejak kecil. Tidak pernah sesekalipun ia merengek-rengek pada orang tuanya, tidak pernah minta ini dan itu, dan tidak pernah menuntut apa-apa layaknya si bungsu yang jikalau minta apapun, selalu dituruti. Namun, Cemerlang ini berbeda. Kalaupun minta ini dan itu, tentunya untuk keperluan sekolahnya. Bukan semata-mata keinginannya yang sangat tidak berguna. Bahkan semenjak masih duduk di taman kanak-kanak, ia tidak pernah mengeluarkan uangnya sepeserpun untuk jajan. Memang sangat prihatin sedari kecil. Bukan karena ia tidak ingin jajan, atau tidak doyan dengan jajanan di sekolahnya, tetapi ia memang sengaja menyisihkan uang jajannya untuk menabung. Di usianya yang masih belia, ia harus merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Bayangkan saja, di usianya yang masih sepuluh tahun, ia harus kehilangan ibunya. Orang yang paling ia sayangi di dunia ini, sosok yang paling berharga, penyemangat, motivator terbesar, dan orang yang paling menyayanginya harus pergi secepat itu. Mungkin masih sangat terlalu dini ia harus merasakan hal itu. Memang sangat berat, dan pastinya merasa sangat terpukul dengan keadaan yang seperti itu. Namun, ia tetap tegar, dan masih tetap bersemangat dan bahkan, mimpinya yang tinggi melejit selalu digondolnya. Bayangkan saja, anak usia sepuluh tahun saja mimpinya sudah sampai ke Eropa. Sangat jarang, bahkan sudah sampai ke surga, kawan . . .

SENYUM DALAM SEBINGKAI FOTO

Kalau ada yang menanyakan “Cemerlang kalau sudah besar nanti ingin jadi apa?”, pasti dengan tegasnya ia menjawab “Saya ingin kuliah di FKUI, ingin menjadi dokter kandungan dan ingin hafal Al-Qur’an”.

Subhanallah, sungguh betapa mulianya cita-cita gadis mungil itu. Kemudian jika ditanya “kenapa ingin menjadi dokter kandungan dan ingin hafal Al-Qur’an?”, ia menjawab “ya, soalnya biar bisa menolong banyak orang, dan saya ingin mengetahui semua apa yang ada di dalam tubuh manusia. Terus kan dokter kandungan kebanyakan laki-laki, ibu-ibu hamil ya kasihan, terpaksa mau-mau saja diperiksa oleh dokter laki-laki karena masih jarang dokter kandungan yang perempuan. Oh iya, kebetulan Ibu saya juga ingin saya jadi dokter dan hafal Al-Qur’an. Kata ibu, kalau hafal Al-Qur’an nanti kita akan masuk surga, pas kita meninggal nanti tidak membusuk dan kelak bisa mendo’akan orangtua”.

Selalu dengan tegas ia menjawab seperti itu, jika ia ditanya. Bayangkan saja, anak SD sudah berani bermimpi sampai surga. Bagaimana dengan kita kawan???. Cemerlang memang benar-benar memimpikan hal itu sejak kecil, itulah impian terbesarnya. Menurutnya, mungkin dengan cara itu ia bisa membahagiakan orangtua dan keluarganya, terutama untuk ibunya. Bukan karena faktor keterpaksaan, tetapi memang sudah tekadnya. Ia mempunyai keyakinan yang luar biasa, tak pernah kenal ragu sedikitpun. Impian itu dari hati, dan bisa kita realisasikan lewat fikiran, kemudian fikiran kita yang akan mengarahkan kita menuju tindakan. Kalau sudah menyangkut hati dan pikiran, insya Allah takkan bisa terlupakan dan benar-benar akan tertanam dalam jiwa. Ibaratnya, impian itu seperti hutang yang harus kita bayar. Kalau kita mempunyai impian A, otomatis kita harus membayarnya dengan mewujudkan impian tersebut, dengan cara apapun, dan tidak ada alasan apapun. Menebus impian memang harus, dan tidak boleh tidak. Impian itu tidak sekedar diimpikan, tetapi benar-benar diusahakan untuk direalisasikan. Bukan janji, tapi bukti. Bukan khayalan, tapi harus diwujudkan.

Tentunya, kita harus percaya akan apapun yang kita impikan itu akan terwujud. Jika kita percaya kalau kita bisa berhasil, maka kita akan benar-benar berhasil. “Man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil. Keyakinan memang harus ada dalam sanubari kita, tentunya diiringi dengan cara menunjukkan sikap kita yang layak untuk mendapatkan suatu keberhasilan. Sikap tidak hanya terlihat, tetapi juga “terdengar”, dan orang-orang di sekeliling kita pun dapat merasakan. Manusia adalah makhluk aneh, yang terkadang ingin dunia mengetahui tentang keberhasilannya. Semua orang ingin mewujudkan apa yang mereka inginkan, dan ingin menikmati standar hidup yang lebih baik. Namun, apakah mereka semua ingin memperjuangkan???. Berhasil atau tidak, semuanya tergantung kita, bagaimana kita mengusahakannya, bagaimana prosesnya, dan bagaimana kita bisa menyesuaikan terhadap apa yang akan kita dapatkan.

——————-

Memang, pada awalnya Cemerlang merasa sangat terpukul dengan keadaan itu. Rasa kehilangan yang begitu mendalam, selalu menghantuinya. Namun, ia selalu memikirkan masa depan demi membahagiakan ibu. Cemerlang, sesuai namanya, ia memang benar-benar cemerlang dan sangat cerdas. Walaupun ia lahir dalam keadaan prematur. Semenjak TK, SD, Madrasah, SMP, SMA, bahkan di perguruan tinggi pun Cemerlang bisa berprestasi dan selalu mendapat predikat terbaik. Dari TK hingga tingkat perguruan tinggi, Cemerlang menjadi lulusan terbaik. Waktu TK pernah mendapat juara calistung tingkat kabupaten, waktu madrasah menjuarai lomba baca tulis Al-qur’an, hafalan juz-amma dan murrotal tingkat kecamatan, waktu SD pernah menjadi juara calistung, juara instruktur senam terbaik sekabupaten, juara lomba cerdas cermat tingkat provinsi, dan juara I olimpiade IPA mewakili provinsi Jawa Barat. Di SMP, Cemerlang pernah menjadi juara lomba pidato bahasa inggris sekabupaten, juara I olimpiade Biologi tingkat provinsi, di SMA pun Cemerlang masih bertahan mendapatkan juara I olimpiade biologi. Dan masih banyak prestasi-prestasi yang diraih oleh Cemerlang. Cemerlang memang suka dengan pelajaran biologi, yang ia kurang suka yaitu pelajaran olahraga, seni, dan bahasa daerah. Sepertinya memang kurang minat, tetapi nilainya masih dalam kategori baik. Sampai kuliahpun, Cemerlang memang mahasiswa yang cerdas dan rajin. Ia dipercaya sebagai asisten dosen, dan pernah menjuarai LKTI tingkat nasional, menjadi perwakilan dari mahasiswa kedokteran Indonesia ke Paris untuk mengikuti olimpiade ilmu kedokteran tingkat internasional, namun sayang kali ini ia tidak mendapat juara I. Namun, masih berada di posisi Juara harapan I. Sungguh luar biasa, bayangkan saja, lawannya dari berbagai negara  di dunia. Setidaknya, melalui kesempatan itu impiannya untuk ke Eropa terwujud. Sesuatu yang sangat diluar dugaan. Ia pun mendapat beasiswa S2 di salah satu universitas terbaik di Paris.

Akhirnya, menara Eifel tak hanya ia lihat di dinding kamarnya, yang pada awalnya hanya sebuah gambar yang tertempel, namun ia dapat melihat menara Eifel yang sesungguhnya, ia dapat melihat keindahan kota Paris secara langsung, bukan mimpi, tetapi itulah impian. Memang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya, ia akan menetap untuk menimba ilmu disana, di negara impian. Kalau dipikir secara nalar, ya boro-boro untuk biaya ke Paris, untuk makan pun masih pas-pasan. Namanya juga mahasiswa, mandiri, dan tidak mendapat kiriman dari orangtuanya. Justru ia mencari uang sendiri untuk biaya hidup, bahkan ia sedang merintis usaha rumah makan kecil-kecilan, di dekat kampusnya. Terinspirasi dengan usaha ibunya dulu. Ia tidak pernah meminta kiriman oleh ayah, ataupun kakak-kakaknya. Ia hanya ingin belajar hidup prihatin dan mandiri.

Selama sekolah, ia selalu mendapatkan beasiswa karena prestasi yang telah diraihnya. Setelah lulus SD, Cemerlang tinggal di sebuah pesantren khusus hafidz Al-Qur’an. Tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya sekitar 45 menit  perjalanan yang harus ditempuh. Untuk memenuhi wasiat ibunya, dan menjalankan program hidup yang telah ia rencanakan sebelumnya, ia menimba ilmu agama disana. Sembari sekolah SMP di sebuah SMP terbaik di kota tempat ia tinggal. Kehidupan pesantren sangat melatih untuk hidup mandiri, segala apapun ia lakukan sendiri. Mulai dari mencuci baju, menyetrika, menyiapkan seragam dan perlengkapan sekolah sendiri, dan semuanya sendiri. Selain ia sibuk sekolah, iapun harus menghafal Al-Qur’an juga. Mungkin, menurut Cemerlang, menghafal bukan hal sulit, karna memang ia sangat cepat tanggap, dan cepat sekali untuk menghafal. Ayat demi ayat mulai dihafalkan oleh Cemerlang. Dari Juzz-amma, surat-surat pendek, surat-surat wajibat, nadzoman, nahwu, sorof, tajwid, semuanya ia pelajari. Lingkungannya sangat menuntutnya untuk tidak bermalas-malasan dan tidak ada kesempatan untuk bersantai-santai ria. Disekolah disibukkan dengan tugas-tugas, organisasi, dan ekstrakurikuler, sementara di pondoknya ia harus setor hafalan setiap harinya. Cemerlang sangat menikmati masa-masa itu, dan menjalaninya dengan ikhlas.

Tidak seperti teman-temannya yang lain, Cemerlang sangat jarang dibesuk oleh keluarganya.

Terkadang merasa iri dengan teman-teman. Dalam hati yang paling dalam, perasaan ingin sama seperti teman-teman selalu membisiki hatinya. Di usia menginjak remaja, SMP, tentunya lagi butuh-butuhnya perhatian orangtua. Ia selalu menghayal, betapa bahagianya ia jika ibunya masih bisa membesuknya, masih bisa menyaksikan ia yang sedang berjuang untuk menimba ilmu. Menjalankan apa yang diinginkan oleh ibunya, betapa senangnya hal itu seumpama benar-benar masih bisa terjadi.

Namun, Cemerlangpun sadar, itu hanyalah sebuah angan-angan untuk menghibur diri. Ia hanya mendapatkan perhatian dari keluarganya, hanya lewat telepon, atau jejaring sosial di dunia maya.

Semua keluarganya sibuk dengan urusanya masing-masing, tetapi mereka masih sangat peduli dan sangat perhatian dengan Cemerlang. Ayahnya sibuk dengan tugas-tugas kantornya, kedua kakaknya ada di luar kota, yang satu kerja, dan yang satunya lagi kuliah. Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Sangat jarang Cemerlang berkumpul dengan keluarganya. Mungkin dua tahun sekali. Hanya saat lebaran saja. Tetapi ia sangat mengerti keadaan. Semua keluarganya sangat memotivasinya, apapun selalu diarahkan, meskipun mereka jarang sekali berkumpul, namun mereka tidak putus komunikasi. Antara satu sama lain masih saling mengingatkan.

Menjelang kelulusan SMP, Cemerlang sudah hafal 30 juz. Mungkin dikategorikan sangat cepat. Karena hanya dalam waktu tiga tahun, sembari menjalani kesibukan sekolah dan lainnya, ia bisa khatam 30 Juz. Dan setelah lulus, ia melanjutkan SMA ke kota, dan harus pindah pesantren.

Cemerlang menghabiskan masa mudanya di pesantren untuk menimba ilmu. Dari semenjak lulus SD, sampai ia diwisuda menjadi sarjana kedokteran, ia lebih memilih hidup di pesantren. Sampai pada akhirnya, ia ke Eropa untuk menjalankan kuliah S2 nya disana., dan tidak lama kemudian, dalam usianya yang masih sangat muda, tepatnya 23 tahun, ia menjadi dokter spesialis kandungan.

Terwujud sudah mimpi-mimpinya, dan ia pun masih sibuk untuk merancang mimpi-mimpi barunya. Dokter spesialis kandungan muda, cantik, hafal Al-Qur’an, generasi muda seperti itulah yang akan memajukan bangsa. Cemerlang sangat berendah hati dan tidak pernah memamerkan apapun yang pernah ia raih. Orang desa pun bisa jadi dokter, dan bisa sampai ke Eropa. Bagaimana dengan kita???.

Setelah ia menyelesaikan studinya di Paris, Cemerlang kembali ke Indonesia. Ia bertekad untuk memajukan negaranya, dan mengabdi, memberikan pelayanan kesehatan yang baik, agar ilmu yang ia dapat berguna bagi orang-orang terdekat, keluarga, dan semua orang di lingkungannya. Dokter muda sholehah, impian semua pria. Namun, Cemerlang belum berfikir sejauh itu. Meskipun banyak laki-laki yang melamarnya, ia belum berfikir akan hal itu. Ia sudah merencanakan bahwa ia akan menikah di usia dua puluh lima tahun. Masalah dengan siapa, ia hanya bisa pasrah, ia hanya berharap yang terbaik, tentunya terbaik menurut Allah. Cemerlang berprofesi sebagai dokter spesialis kandungan, sekaligus menjadi pembimbing adik-adik generasi yang lebih muda darinya untuk menjadi hafidzah. Perjuangannya sangatlah panjang, dan ia tak pernah mengeluh, ataupun menyerah.

Kalaupun sedikit merasa lelah, ia teringat ibu. Pastinya dia akan bangkit kembali. Karena mungkin, ibunyalah yang menjadi alasannya. Alasan mengapa ia harus sukses meraih apapun yang ia inginkan. Ibulah sumber kekuatannya. Meskipun ibunya telah tiada, ia tidak pernah melupakannya. Ia selalu mendo’akan dan selalu melakukan yang terbaik sebisanya. Cemerlang bekerja di sebuah Rumah Sakit, yang berjarak hanya beberapa kilometer dari rumahnya. Tidak jauh, karena ia ingin menempati rumah tempat ia tinggal bersama ibu dan keluarganya sewaktu ia kecil, menempati rumah induk, dan iapun ingin menemani ayahnya yang sudah sangat lama ia tinggalkan dirumah sendirian. Ia sangat menyesal tidak sempat mengabdi pada ibunya, waktu ibunya masih ada, dan sekarang Cemerlang tidak ingin mengulangi hal itu, ia ingin mengabdi kepada ayahnya, orangtua satu-satunya. Selagi masih diberi kesempatan, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Ayahnya pun sangat bangga terhadap Cemerlang, putri bungsunya yang sangat Cemerlang, sesuai dengan namanya.

Gerimis telah menjadi hujan sedari tadi. Rintiknya menjejak di permukaan kaca jendela. Kaca menjadi berembun. Samar terlihat pantulan wajah Cemerlang, buram, dan semakin dalam, terhanyut pada masa silam. Ketika menatap sebingkai foto, tanpa bisa dicegah, matanya yang sembab mulai mengalirkan anak-anak sungai bening, mengalir ke permukaan pipi. Tatapan mata Cemerlang menerawang jauh. Ia masih mengenang masa-masa indah bersama keluarga pada masa silam. Ia hanya bisa mengingat, dan merasakan, membayangkan, dengan melihat senyum ibu dalam sebingkai foto, senyum yang menyimpan banyak sekali kenangan. Ia hanya bergumam dalam hati, dan ingin sekali mengungkapkan apa yang ia rasakan.

“Ibu, saya sudah berusaha menjadi apa yang pernah ibu katakan dulu pada saya”. “Saya sudah menjadi dokter, saya sudah menghafal Al-Qur’an, lalu, saya harus bagaimana lagi Bu? Apalagi yang ibu inginkan, pasti sebisa mungkin akan saya lakukan”. “Terimakasih Ibu, semoga ibu akan selalu tersenyum seperti foto terakhir ibu dalam bingkai foto ini”.

Gumam Cemerlang di dalam hati, sambil kembali mengalirkan anak-anak sungai dari sudut matanya, dan mengalir ke pipi. Perasaan rindu yang sangat mendalam, hanya bisa ia rasakan, tanpa lagi bisa terlampiaskan. Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB.

“Tok tok tok….”.

Suara ketukan pintu terdengar dari arah depan rumah. Mengagetkan Cemerlang yang sedang terdiam mengalirkan anak-anak sungai, menatap sebingkai foto perempuan yang paling ia sayangi di dunia ini.

“Assalamu’alaikum…..”.
Terdengar suara salam, suara yang tidak asing, yang ia hafal sedari ia kecil. Suara ayahnya, yang baru pulang dari kantor.

“Wa’alaikumsalam. Ia Ayah, tunggu sebentar…”.
Cemerlang bergegas lari menuju ruang tamu, buru-buru membukakan pintu untuk ayahnya. Tidak mau ayahnya menunggu lama di luar.

“Kreeeeeek”. Suara pintu dibuka.
“Maaaf Ayah, lama.” Cemerlang meminta maaf kepada ayahnya karena lama membukakan pintu. Lalu ia mencium tangan ayahnya.

“Iya nak, tidak apa-apa”.

“Loh, kenapa dengan foto ibu kamu nak?”. “Kamu menangis?”. Tanya sang ayah.

Cemerlang sambil menangis sesenggukan. “Saya kangen sama ibu, Yah”.

———-TAMAT———

BIODATA PENULIS
Nama                               : Khasanah
Tempat/Tanggal Lahir     : Indramayu, 03 Desember 1992
Alamat                             : Desa Kaplongan, RT/RW: 08/03

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.