PEMIMPI JALANAN

“PEMIMPI JALANAN” – Panas terik sang surya sangat menyengat, membakar lapisan epidermis kulit manusia penghuni bumi hingga menjadi coklat matang, bahkan hitam legam, membuat kulit mengkerut, kering dan kusam. Matahari seperti berada di atas ubun-ubun, panasnya ibarat dikelilingi bara, tetapi panas dunia sangatlah tidak seberapa dibanding percikan api neraka. Merah, kuning dan hijau penertib lalu lintas selalu menyala bergantian. Jalanan macet, gersang, lalu lintas semrawut, tak beraturan, kendaraan beroda dua, tiga, empat, memenuhi jalanan yang sempit, dari sepeda, sepeda motor, bajai, metromini, bus, taksi, angkutan, maupun mobil-mobil pribadi hingga mobil mewah dan mobil dengan plat merah, semuanya menggunakan jalan hingga terjadi kemacetan. Semua kendaraan menjerit, tat-tit tat-tit suara klakson sebagai isyarat amukan pengemudi jalan, suasana yang ramai, bahkan sangat membisingkan indera pendengaran, membuat sopir-sopir sebagai pengemudi yang terkadang tak sabaran. Asap kendaraan semakin mempertinggi tingkat pencemaan lingkungan, knalpot berkabut hitam dengan berbagai macam suara, dari yang nyaring bunyinya sampai ada pula yang tak bersuara. Ibu kota memang sudah tak nyaman, penduduk membludak, pengangguran mblarat, rakyat miskin kelaparan, sementara pemimpin sibuk memikirkan kedudukan, tikus-tikus kantor penghianat bangsa semakin merajalela, tanpa memperdulikan keadaan negara.

Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Yang kaya tak peduli, sementara yang miskin hanya bisa gigit jari. Ibukota memang kejam, bahkan lebih kejam dari ibu tiri. Semuanya berpusat di ibu kota, kota metropolitan yang menjadi kebanggaan para pengumpul recehan, didalamnya terdapat berbagai kalangan, dari pengangguran hingga bangsawan, dari jongos hingga bos, dari penjahit sampai penjahat, semuanya ada. Kemajuan bangsa sangatlah dipengaruhi warga negaranya, kesejahteraan sangatlah terkait dengan pendidikan, serta masa depan bangsa sangatlah bergantung dengan generasi muda. Namun, sangat tidak adil birokrasi untuk yang tak berkuasa, harta mungkin dapat menaikkan kasta, namun etika manusia terkadang dianggap sebelah mata. Status sosial yang membuat manusia gila hormat, jabatan yang diperebutkan hingga semua terkadang lupa akan daratan. Negeri yang lucu, namun tetap dibanggakan dan harus kita pertahankan. Kita harus menjunjung harkat dan martabat bangsa dengan segala cara yang bermakna, dan totalitas dalam integritas. Ideologi harus diterapkan, hukum harus ditegakkan, tanpa adanya pembelaan bagi yang berkuasa, tanpa adanya suap dibawah meja. Generasi muda yang harusnya diperhatikan, justru diabaikan, dibiarkan terlantar karena ketidakadilan dalam hak untuk mendapatkan pendidikan, dibiarkan urak-urakan. Ilmu bukan hanya milik orang yang mampu, namun siapapun berhak untuk memperolehnya. Terkadang anak bangsa tak terdidik dengan alasan tak punya biaya, anak-anak jalanan pun ditelantarkan, menjerit kelaparan, dan mungkin terkadang direndahkan dengan memberinya julukan “sampah masyarakat”. Kalau memang sampah, kenapa tak ada yang memungutnya, kenapa dibiarkan berserakkan. Mereka punya mimpi, namun semua tak peduli, mereka terlantar, justru yang berwenang telah mengingkari ikrar. Anak-anak jalananpun masih punya impian, namun siapakah yang akan memperdulikan? Yang ada, mereka semua ditelantarkan. Seperti Bejo, seorang anak jalanan berusia sembilan tahun yang seharusnya duduk di bangku sekolah dasar terpaksa ia harus hidup di jalanan, karena memang tidak punya tempat tinggal. Baginya, kolong jembatan menjadi satu-satunya tempat paling nyaman untuk berteduh. Tempat tinggal yang hanya beralaskan kardus, yang apabila hujan akan basah, jikalau terkena angin kencang akan beterbangan, istana beratap jembatan, berventilasi melebar, karna memang tanpa tembok dan jendela. Habitat yang ala kadarnya, dan memang seadanya, tanpa ada apa-apanya. Kehangatan dalam sebuah ruangan, berteduh di dalam rumah, hidup bersama keluarga, terakhir ia rasakan dua tahun silam. Kini, Bejo benar-benar hidup sendiri tanpa kehadiran orangtua dan keluarga. Keluarganya saat ini, hanya para tunawisma yang bernasib sama dengannya.

Semenjak ia masih di dalam kandungan ibunya, ia sudah menjadi yatim. Ayah Bejo meninggal dunia karena kecelakaan pada saat ia menjadi supir bus antarkota. Pada saat itu Bejo berusia delapan bulan di dalam kandungan. Satu bulan setelah ayahnya pergi, Bejo pun lahir. Bayi yatim itu hanya mendapatkan kasih sayang dari ibunya, tanpa kehadiran sang ayah. Ibunya memberi nama “Bejo” karena ia berharap anaknya akan menjadi orang yang “bejo”, orang yang “beruntung”. Setiap nama adalah do’a. Untuk memberi makanan tambahan untuk bayinyapun, sang ibu tidak mampu karena memang ia tak punya apa-apa. Setiap harinya, si bayi mungil itu diberi makan pisang. Ia hanya mampu memberikan ASInya untuk Bejo. Dan kebetulan, Bejo diberi fisik yang kuat dan tidak pernah sakit. Tempat tinggal yang ia huni bukanlah milik sendiri, melainkan ia hanya mengontrak suatu bangunan tipe 45 dengan satu kamar sempit yang setiap bulan ia harus membayarnya. Tentunya bukan tipe 45 layaknya perumahan elegan, tetapi memang hanya sebatas berukuran 4×5 meter panjang dan lebarnya. Seorang janda yang harus berjuang sendirian untuk menghidupi anaknya memang bukan hal mudah. Tanpa kehadiran suami, ia harus berusaha sendiri, mencari nafkah, membanting tulang hanya dengan apa yang ia bisa.

Menjadi sosok Ibu, sekaligus ayah memang sangatlah berat. Ia menjalani peran yang rangkap dalam waktu yang sama. Ia terpaksa menjadi buruh cuci yang hanya mempunyai satu pelanggan. Itupun mungkin karena rasa belas kasihan, karena bagaimanapun penghuni komplek perumahan elit lebih memilih mencuci pakaian mereka di tempat laundry, atau bahkan memang sudah mempunyai pembantu pribadi di setiap rumahnya. Mungkin, hasilnya pun tak seberapa, hanya cukup untuk bayar kontrakan, belum sampai untuk kebutuhan tetek bengek lainnya. Bahkan Ibu Bejo setiap hari harus berpuasa, selain dengan niat beribadah, memang tak ada makanan yang harus ia makan. Kalaupun punya uang, ia lebih mementingkan kebutuhan anaknya dibandingkan untuk dirinya sendiri. Demi anak, seorang ibu akan rela melakukan apapun, sekalipun nyawalah yang menjadi taruhannya. Ibu Bejo adalah sosok wanita sholehah yang sabar dan lemah lembut, ramah kepada semua orang, dan memang taat beribadah, Lastri namanya. Bejo sangatlah beruntung terlahir dari rahim seorang ibu yang memang patut untuk dibanggakan. Wanita pejuang itu mendidik Bejo dengan penuh sabar dan kasih sayang, dan ia pun melakukannya sendirian. Tanpa keluarga, tanpa saudara, hanya ada tetangga yang memang tak peduli apa-apa. Bu Lastri hanya merantau di tanah ibukota, dari semenjak awal pernikahan dengan suaminya, mereka memilih untuk mengadu nasibnya di kota. Entahlah karena apa, karena mungkin memang sudah tradisi, penduduk desa memboyong ke kota, dan ibukota menjadi pilihan, karena menurut kebanyakan orang, disana ditemukan banyaknya perubahan. Ya, memang banyak sekali perubahan, perubahan orang desa menjadi orang kota, perubahan bahasa dan tutur kata, perubahan status sosial, mungkin ada yang berubah menjadi lebih baik, atau bahkan adapula orang baik menjadi orang jahat, sangat beragam kehidupan disana. Pedagang, pemulung, pengusaha, pencopet, mahasiswa, sampai tingkat presiden berada dalam satu populasi yang sama. Bu Lastri terpaksa harus bertahan karena memang tak bisa lagi untuk pulang. Untuk kembali ke kampung halamanpun, ia tak ada dana. Hanya sekedar mengabari keluarga di kampung saja sangatlah susah. Surabaya tempat asalnya, namun ia belum bisa kembali sampai suaminya pergi. Sampai-sampai orangtuanya meninggalpun, ia tak tahu.

Perempuan setengah baya ini tak pernah memikirkan dirinya sendiri, ia hanya terfokus pada Bejo, buah hati semata wayangnya. Sampai-sampai pada saat Bejo berusia tujuh tahun, ia sakit parah dan pada akhirnya meninggal dunia. Bejo tak pernah bertemu ayahnya, wajah ayahnya pun hanya bisa ia lihat di album foto pernikahan orangtuanya, bahkan sekarang seorang ibunda tercinta, orangtua satu-satunya, keluarga satu-satunya yang ia punya, harus pergi meninggalkannya. Anak sedini itu sangatlah terpukul dengan keadaan. Orangtua tak ada, tempat tinggal tak punya, kemana ia harus pulangpun ia tak tahu. Rumah kontrakan sudah tak lagi dapat dihuni, karna memang harus dibayar dengan materi. Tak pandang belas kasihan, memang kehidupan di kota metropolitan sangatlah kejam. Akhirnya Bejo hidup dijalanan, berkenalan dengan para gelandangan, mempunyai keluarga baru dan teman-teman baru. Ibundanya selalu berada dipelupuk mata, bayangan ibunya masih sangat terasa, rasa sedih, gundah, campur aduk menjadi satu. Tujuh tahun, bukanlah usia yang cukup dewasa, ia masih terlalu dini untuk mengalami keadaan yang sangat memprihatinkan, tetapi Bejo tetap tegar, sama seperti almarhumah ibunya yang selalu tegar.

Kalau kita pernah memiliki, maka kita harus siap kehilangan. Karena apapun yang kita miliki, semuanya adalah titipan Tuhan, tanpa terkecuali apapun itu. Apabila kita memiliki, maka harus benar-benar dijaga. Demikian sebaliknya, apabila kita kehilangan, kita pun harus merelakannya. Ikhlas dan sabarlah yang harus kita emban. Teori sangatlah mudah, begitupun akan sangat mudah pula dalam kenyataannya apabila kita bisa pasrah dalam semua keadaan. Pasrah bukan berarti menyerah, tetapi merelakan setelah segala ikhtiar yang telah kita lakukan. Mari belajar tentang semua apapun yang harus kita pelajari. Dimulai dari hal-hal kecil, dan dari kesalahan. Mungkin lingkungan sekitar kita dapat menjadi inspirasi buat kita.

Cerpen By Khasanah

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.