Seni Merasakan Rasa

Seni Merasakan Rasa 

“Saya tawarkan Anda kedamaian. Saya tawarkan Anda cinta. Saya tawarkan Anda persahabatan. Saya melihat kecantikanmu, mendengar kebutuhanmu, merasakan apa yang kamu rasakan. Kebijakasanaan saya mengalir dari sumber tertinggi. Dan, saya menghormati sumber Anda juga. Jadi, mari kita bekerjasama untuk cinta dan persatuan.”

Hari-hari semakin tidak perduli pada seni apalagi rasa. Waktu semakin mendesak membebani setiap ketegangan emosi. Kata mereka seni dan rasa adalah keikhlasan jiwa. Tapi jauh untuk sampai pada pemahaman itu, saya belum mengerti apa itu seni apa itu rasa. Hanya mendengar dari para seniman kata-kata dan para filsuf. Makin bingung rasanya… Ku sebut para penggali seni/Rasa adalah para seniman kehidupan. Dari merekalah seni dan rasa dipublikasikan dan dijelaskan. Tapi untuk benar-benar merasakan hakekat seni dan rasa sangat sulit. Megapa, lalu bagaimana seharusnya seni dan rasa itu diejawantahkan dan dirasakan,

Entahlah’’inilah kisah yang ingin ku ceritakan menjadi cerita sederhana kawan”. Cerita tentang Seni merasakan Rasa. Cerita yang dari sastrawan seni atau  falsawah rasa. Cerita dari sedikit pengalaman hidup. Seni merasakan Rasa adalah sebuah kata penuh makna, mencakup dimensi ruang dan waktu. Inilah seni yang akan menetralisir segala rasa.

Seni Merasakan Rasa

Pemahaman yang sering kita anggap benar tidak sebenar-benarnya benar, karena kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran milik Tuhan. Sama seperti seni, jika kita punya rasa, maka setiap hal adalah seni. Tapi itu tidak sebenar-benarnya benar. Yang benar adalah ketika tidak menganggap diri kita benar, tapi menempatkan pada tempat dimana kita terus belajar. Akhirnya rasalah yang akan menuntun diri kita yang sebenar-benarnya.

Baca : Tanah para-raja (episode 1)

Seni merasakan hujan dan petir :

Awan Hitam berkerumun diseantero langit purwokerto. Sesekali lecutan petir menyambar tanah   memuntahkan milyaran watt energi. Angin dingin membrontak menembus lubang-lubang sempit jendela, membelai korden, lalu kulit lalu suhu kamar tunduk dan mendingin. Daun-daun pohon rambutan bertumbangan kalah oleh dasyatnya kemurkaan alam. Suara petir berantrian seperti kesetanan belum makan. Alam meradang, menunjukan kedasyatan. Bumi Manusia tenggelam dalam rasa malu luar biasa. Kami hanya Hanyut dalam kenyamanan yang mengkhawatirkan. Genteng-genteng terlihat pesimis menyambut tangisan alam. Jiwa kami meringkuk kikuk, mengkredil dan takut dalam harapan. Matahari yang biasa terik di ubun-ubun, perkasa disiang ,kini terselip hilang dalam peraduan. Akh..musim kemarau telah berakhir. Air mulai mengguyur tanah Nusantara. Gaduh alu dan lumpang kini tak terdengar di Rumah desa-desa. Bunyi Burung dan ayam kini sepi, hilang secepat langit menghitam ,secepat pula mereka kembali ke sarang. Tropis menunjukan bakatnya, jutaan ton air ditumpahkan setiap hari. Mengalir dalam selokan ke sawah, parit-parit kesungai, sungai-sungai ke laut lalu kembali menguap menjadi awan.

“Jakarta tenggelam”, itulah trending topik koran KOMPAS pagi ini. Sawah-sawah pedesaan kini di banjiri air, perekonomian mulai bergeliat. Kelaparan dan kehausan tinggal kenangan. Desa merayakan kemenangan dalam kesyukuran. Mereka menyambut Dewi Sri yang turun ke Bumi membawa padi. Menyambutnya dengan mencangkul dan menanam. Kondisi yang antonim dengan kota metroposis yang tenggelam. Kali Ciliwung, kali Pesanggrahan meluap membagi airnya ke dusun-dusun, ke rumah-rumah, dan ke kamar-kamar. Air-airnya mengalir dari selokan ke jalan-jalan, mengkonfortir jalan ibu kota yang carut marut. Mobil, sepeda motor, bus way, angkot, mereka pamer keahlian menerjang banjir menyaingi prahu-prahu nelayan. Itulah penghujan di Indonesia kawan, musuh bagi kota-kota besar, dan sahabat bagi desa-desa tertinggal. Jederrrrrrrr…glung=glumg-glung…sekali lagi petir menyambar, terdengar sangat dekat dan memekakan telinga. Ku hardik gerakan secepat tupai, ku buka pintu kamar kos berukuran 3x3m tanpak di jalan depan terlihat kerumunan orang keheranan. Seorang tukang mi ayam terkapar. Hujan mulai redup, petir perlahan kehabisan suara karena kenyang… sang tukang mi ayam menjadi korban.

TAMAT

Baca : Surat untuk diriku sendiri

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.