Cacing Hati (Fasciola)

Fasciolosis adalah penyakit cacing yang disebabkan oleh dua trematoda Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang bersifat zoonosis. Fasciola hepatica menimbulkan banyak kekhawatiran, karena distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk manusia. Siklus hidup dari siput air tawar sebagai hospes perantara parasit (Levine, 1990).Cacing dewasa dari kedua jenis dilokalisasi dalam saluran empedu dari hati atau kantung empedu. Fasciola gigantica merupakan satu-satunya cacing trematoda di Indonesia yang menyebabkan infeksi fasciolosis pada hewan ruminansia. Penyakit ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan produksi, kerusakan organ tubuh terutama hati sehingga hati terbuang percuma, bahkan dapat menyebabkan kematian (Arifin, 2006).

Baca Juga : Perkembangan Metamorfosis Katak

Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi, dan ditunjang pula oleh sifatnya yang hemaprodit yakni berkelamin jantan dan betina akan mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut. Cacing ini banyak menyerang hewan ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metacercaria, tetapi dapat juga menyerang manusia. Cacing ini termasuk cacing daun yang besar dengan ukuran 30 mm panjang dan 13 mm lebar (Muhammed, 2008).

 

CACING HATI (FASCIOLA)

Fasciola gigantica bentuknya pipih seperti daun dan habitat utamanya di hati maka dikenal dengan nama cacing hati. Ada tiga cara larva infektif cacing hati setelah masuk ke dalam tubuh sampai ke organ hati hewan yang terinfeksi. Pertama ialah ikut bersama aliran darah, kemudian menembus kapiler darah, terus ke vena porta dan akhirya sampai ke hati. Kedua, dari lambung (abomasum) menembus mucosa usus (duodenum), ke saluran empedu dan akhirnya sampai ke parenkhim hati. Ketiga, yang umum terjadi adalah setelah menembus usus menuju peritonium, lalu menembus kapsula hati yang akhirya sampai ke hati (Arifin, 2006).

Cacing daun adalah cacing yang hidup sebagai parasit yang termasuk kelas Trematoda, phylum Platyhelminthes. Spesies yang merupakan parasit manusia termasuk sub kelas Digenia yang mengalami reproduksi seksual pada masa dewasanya, diikuti oleh reproduksi aseksual selama stadium larvanya di dalam keong. Trematoda berasal dari kata Trematos yang artinya berlubang dan berlekuk, yaitu cacing yang tubuhnya terdapat satu atau lebih bagian yang berlekuk untuk menempel pada hospesnya. Trematoda mempunyai bentuk umum seperti daun dengan tubuh tidak bersegmen. Ukuran tubuhnya berkisar antara 1 mm dan beberapa centimeter (Arifin, 2006).

Telur Trematoda yang telah menetas di perairan akan menetas menjadi larva mirasidium yang bersilia dan berenang di perairan. Mirasidium akan menginfeksi tubuh siput yang sesuai melalui kulit siput. Di dalam tubuh siput, larva mirasidium akan berubah menjadi kantung-kantung panjang yang disebut sporokista yang kemudian berubah menjadi redia. Redia akan memperbanyak diri dan berubah menjadi larva berstadium empat yang berekor disebut serkaria. Stadium-stadium tersebut berada dalam organ hati siput (Noble dan Noble, 1989).

Maksud dari dilaksanakannya praktikum ini adalah untuk mengetahui berbagai macam stadium dalam kelas Trematoda dalam hati siput yang diperiksa dalam laboratorium. Dasar teorinya yaitu siput dikatakan sebagai hospes perantara dari berbagi jenis Trematoda karena di dalam hati siput ditemukan stadium sporokista, redia, dan sercaria. Hati siput terletak pada lingkaran atau sutura ketiga dari ujungnya. Ditemukannya stadium sporokista, redia dan serkaria pada tubuh siput menunjukkan bahwa siput terinfeksi cacing trematoda.

1)  Faktor-faktor yang menyebabkan tidak ditemukannya stadium perkembangan dari cacing Trematoda  yaitu :

  • Pemotongan cangkang tidak pas pada organ hati siput yaitu bukan pada lingkaran apec yang ketiga.
  • Siput memang belum terinfeksi cacing Trematoda.
  • Daerah ditemukannya siput belum tercemar sehingga cacing Trematodanya tidak ada.
  • Saat melakukan identifikasi praktikan kurang teliti dan tidak mengikuti prosedur yang ada sehingga pada beberapa siput tidak ditemukan stadium perkembangan cacing trematoda.
  • Telur Trematoda menetas pada hospes yang tidak cocok.
2)  Gangguan cacing Trematoda dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel-sel hati dan penyumbatan saluran empedu. Manusia yang terinfeksi ditandai dengan sakit perut yang kuat atau menimbulkan sakit kuning. Manusia dapat terinfeksi cacing Trematoda apabila :
  • Memakan ikan yang mengandung metasercaria yang tidak dimasak sampai matang, karena ikan merupakan hospes perantara yang kedua.
  • Memakan sayuran atau tumbuhan air yang mengandung metasercaria yang tidak dimasak sampai matang.
  • Manusia berada di perairan yang di dalamnya terdapat sercaria spesies Schistosoma sp. yang dapat menembus kulit
3)      Infeksi cacing ini dapat dicegah dengan beberapa cara antara lain :
  • Membudayakan perilaku hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pemeliharaan sanitasi lingkungan.
  • Mencuci bersih sayur-sayuran dan buah-buahan sebelum dikonsumsi.
  • Pemeliharaan dan pengobatan sedini mungkin apabila terjadi gejala infeksi cacing Trematoda.

Sebagian besar siput berperan sebagai hospes perantara cacing Trematoda, stadium perkembangannya (sporokista, redia, serkaria) yang ada dalam hati organ siput. Oleh karena itu, dalam pemeriksaan pemotongan tubuh siput dilakukan pada lingkaran atau ruas ke tiga cangkang siput. Cacing Trematoda menempel pada hospes dengan batil isap yang berbentuk separti cangkir, duri, atau kulit. Batil isap ada dua yaitu pada bagian kepala (oral sucker) letaknya mengelilingi mulut dan berhubungan langsung dengan saluran pencernaan, sedangkan batil isap lainnya terdapat pada bagian perut (ventral sucker), yang ukurannya lebih besar dari pada oral sucker (Levine,1990).Cacing jenis Trematoda pada umumnya bersifat hemaprodit, kecuali cacing Schistosoma sp. yang mempunyai oral sucker dan ventral sucker. Spesies yang merupakan parasit bagi manusia termasuk sub kelas Digenea yang hidup sebagai endoparasit. Pemahaman terhadap epidemologi infeksi Trematoda memerlukan pengetahuan umum tentang kejadian kompleks yang terdapat antara ekskresi telur inang tetap dan pembentukan tahap larva akhir. Terdapat empat bentuk larva yang berbeda (kecuali pada Trematoda darah yang hanya memiliki tiga) yaitu mirasidium, sporokista, redia, dan serkaria (Brotowidjoyo, 1987).

Cacing Trematoda memiliki fase pertumbuhan aseksual di dalam tubuh siput. Pertumbuhan ini dimulai dengan masuknya mirasidium ke dalam jaringan tubuh siput bila mirasidium telah mencapai tempat yang sesuai. Mirasidium yang keluar dari telur bentuknya seperti buah jambu dan seluruh tubuhnya dikelilingi oleh silia sehingga dapat berenang aktif pada air. Mirasidium dapat menembus tubuh siput karena mempunyai enzim litik. Mirasidium lebih senang pada spesies siput karena dipengaruhi faktor kemotaksis cairan jaringan dan lendir yang terdapat pada tubuh siput tersebut. Setelah berada di perairan, kemudian mirasidium melepaskan silia dan menembus tubuh siput, hanya memerlukan waktu beberapa menit di dalam tubuh siput  (Brotowidjoyo, 1987).

Mirasidium akan kehilangan silia dan akan berubah menjadi sporokista yang bentuknya memanjang. Sporokista ini mempunyai dinding badan, rongga badan, dan sel-sel germinal yang membantu sporokista kedua atau redia, kemudian bentuk kedua ini membentuk serkaria. Sporokista berpindah ke jaringan hati siput tempat larva ini meneruskan ke pembentukan masa sel nutfah di dalam struktur serupa kantung. Redia berada di dalam rongga tubuh siput yang berisi cairan limfe. Sporokista kemudian mengalami perubahan morfologi lagi untuk menjadi larva yang lebih terdeferensiasi yang mempunyai mulut, faring, usus sederhana, sistem ekskresi, sel pengumpul, sel germinal, dan dapat menembus kulit hospes definitif karena saluran pencernaan yang rudimenter, tahap ini disebut redia (Noble dan Noble, 1989).

Serkaria terbentuk dalam redia kemudian keluar dari tubuh siput. Serkaria mencapai bentuk yang khas yaitu tubuh elips, ekor panjang bentuk lokomosi, sudah mempunyai oral sucker dan ventral sucker bermacam-macam alat seperti duri atau jarum, alat pencernaan, sistem reproduksi sederhana, sistem ekskresi, kelenjar kepala uniseluler, dan lubang-lubang saluran disekitar oral sucker. Serkaria Schistosoma sp dapat menembus kulit hospes definitif karena larva ini membentuk sekret litik yang dihasilkan oleh kelenjar sefalik. Serkaria ini juga dapat masuk ke dalam jaringan hospes perantara siput, serkaria dapat menginfeksi inang perantara baru. Inang ini mungkin ikan air tawar, ketam atau vegetasi air. Serkaria terdiri dari delapan jenis yaitu :

  1. Longifurcate cercaria
  2. Pleurolophocerecus cercaria
  3. Monostome cercaria
  4. Gymnechepalous cercaria
  5. Echinostome cercaria
  6. Xipidio cercaria
  7. Amphisome cercaria
  8. Brevifurcate cercaria

Setelah terjadi infeksi, serkaria kehilangan ekor dan membuang dinding kista di sekitar larva. Bentuk kista seperti ini disebut metasercaria yang bentuknya bulat. Metasercaria ini hidup dalam hospes perantara dua misalnya Crustacea, ikan, dan tumbuhan air. Metasercaria masuk ke dalam hospes definitif karena termakan atau menembus  kulit. Hospes definitif, cacing dewasa muda pindah ke organ pencernaan yang cocok dan tumbuh menjadi dewasa (Ngurah dan Putra, 1997).

Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak (Arifin, 2006).

Siklus hidup Fasciola gigantika dewasa, hidup dalam kantung empedu sapi, kerbau domba, kambing dan ruminansia lain (Levine, 1990). Untuk kesempurnaan hidupnya parasit ini membutuhkan dua macam induk, yaitu host definitif pada hewan herbivora dan host intermediet pada siput air tawar. Fasciola gigantica dewasa bertelur dalam kantung dan saluran empedu dan meletakkan telurnya dalam jumlah yang besar. Telur-telur tersebut keluar dari tubuh host definitif bersama dengan feses dan dalam perkembangan harus mencapai air.

Brotowidjoyo, (1987) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara adalah faktor yang paling penting dalam mempengaruhi kehidupan telur dan larva Fasciola gigantika, telur akan menetas menjadi mirasidia dalam waktu 19 hari setelah mendapati air pada suhu 27 0C. Mirasidia berenang aktif selama beberapa jam dalam air sehingga bertemu siput yang sesuai. Apabila mirasidia tidak menemukan siput, maka dalam waktu sekitar 8-40 jam larva ini akan mati. Mirasidia masuk ke dalam tubuh siput dengan jalan menembus tubuh siput melalui daerah mantel, kaki, kepala atau tentakel. Lalu melepaskan silianya masuk ke hepatopankreas, berubah menjadi sporosista dan berkembang mencapai 1-3 mm. Larva ini tidak akan berkembang menjadi redia dan kemudian menghasilkan metaserkaria. Lama waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan dari mirasidia menjadi tahap serkaria pada tubuh siput adalah 41-70 hari. Sedangkan siklus hidup lengkap dari telur sampai serkaria dibutuhkan kira-kira 60–100 hari. Serkaria meninggalkan tubuh siput sekitar 3–7 minggu (tergantung dari suhu) setelah infeksi, dan langsung berenang aktif dalam air. Dalam dua jam mereka melepaskan ekornya dan menempel pada tumbuh-tumbuhan air untuk menjadi metaserkaria (Noble dan Noble, 1989).

Di Indonesia Fascioliasis ditemukan di seluruh wilayah walaupun intensitas kejadiannya berbeda-beda menurut daerah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekologis dari daerah tersebut. Induk hospes intermedier untuk Fasciola gigantica di Indonesia adalah siput jenis Lymnaea rubiginosa, sedangkan induk hospes intermedier antara untuk Fasciola hepatica di Eropa adalah Lmnaea truncatula (Subronto, 2004).

Gejala-gejala bila ternak itu cacingan antara lain: sapi kurus dan lemah, nafsu bisa kurang, kurang darah (anaemia), lendir berwarna pucat dan sering mencret. Pada kasus akut pada sapi, hewan akan mengalami kematian tiba-tiba, pendarahan pada lubang hidung dan anus, mirip dengan pendarahan pada kasus anthrax. Pada kasus kronis, akan terdapat penumpukan cairan di bawah mandibula yang lebih dikenal dengan istilah “Bottle jaw” (Levine, 1990).Pencegahannya dilakukan dengan beberapa teknik sederhana dalam melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang rumput (Mohammed, 2008). Untuk mengendalikan infeksi cacing Fasciola gigantica ada tiga jalan, yaitu mengendalikan atau memberantas induk hospes intermedier (perantara) seperti siput, memperbaiki manajemen dan memberikan obat antelmentik secara periodik. Untuk mengendalikan populasi siput dapat digunakan berbagai zat kimia (molluscicida) atau dikendalikan secara biologis dengan menggunakan predator, misalnya dengan memelihara itik. Hindari penggunaan pupuk kandang (di sawah) dalam keadaan basah, sebab sebagian telur cacing Fasciola mungkin masih mampu menetas bila dalam keadaan lembab (Ngurah dan Putra, 1997).

 Baca Artikel tentang : Kolagen Dan Penuaan Dini

Arifin M., 2006. Pengaruh Iradiasi Terhadap Infektivitas Metaserkaria Fasciola gigantica pada Kambing. http://digilib.batan.go.id/eprosiding/File%Prosiding/ Kesehatan/ Risalah % 2000/2000/M-Arifin.pdf.

Brotowidjoyo, D. M. (1987). Parasit dan Parasitisme, Edisi Pertama. Media Sarana Press, Jakarta.

Levine, N. D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Gatut Ashadt. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mohammed N., 2008. Fasciola hepatica. http://www.nenadmohamed.com.html.

Ngurah D. D. M. dan A. A. G. Putra (1997). Penyidikan Penyakit Hewan C. V. Bali Media, Denpasar.

Noble, E.R. dan G. A. Noble (1989). Parasitologi : Biologi Parasit Hewan, Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Subronto, 2001. Ilmu Penyakit Ternak II.Gajah Mada University Prees. Yogyakarta.

6 pemikiran pada “Cacing Hati (Fasciola)”

  1. Toony. Untuk jenis cacing hati, alangkah baiknya segera dibawa ke dokter untuk di obati..tidak ada obat yang dijual di pasaran selain dengan resep dokter..

  2. ada beberapa hal yang saya bingug dengan google, beberapa artikel saya review dari jurnal penelitian, dan beberapa dari mencari info di sumber berita terkini. anehnya, kalau saya sertakan sumber, artikel saya langsung di posisi 5 besar di search. dan juga siapa tahu artikel saya menjadi referensi jadi saya sertakan sumber-sumber terkait.

  3. saya mendapat pelajaran berharga dengan membaca artikel ini, dan saya acungkan jempol karena menyertakan berbagai sumber yang berguna untuk referensi.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.