Analisis Semiotik Sajak Helvy Tiana Rosa “Sajak Februari”

Gaya Surealistik Dalam Sajak Helvy Tiana Rosa :

Sajak Februari

1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap
desah
dan cuaca
tak sampai-sampai
getarnya  padamu

2
setiap hari embun
meneteskan kesetiaannya
pada pagi
seperti aku yang tak
pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh

3
maka kutanyakan pada
mungkin
ia memandangku dengan
mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah
kerudung air matamu
sebab tak ada tempat untuk
cinta disini

4
Engkau kah itu yang
berkata?
Semua pejalan di bumi,
semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap
gerak berarti
hingga malaikat pun sudi
mengecup
semua luka kita yang
mawar
engkaukah itu yang
berkata, cinta?
sementara diam-diam kita
berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau

5
Di dalam bis yang membawa
banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak
pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta
buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa
menatap punggungmu

Di antara dinding dingin di
sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi ku tak tahu
aku telah mencarimu
bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan
membujukku
Pulanglah, kau sudah
begitu lelah

6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada nafas dan air mata
Di manakah kau, di
manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta tersembunyi

7
seperti gelombang yang
setia pada lautan
aku telah lama kau
campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku
memang harus kembali
meski dengan luka yang
paling badai

8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan
kembali
kenangan di sepanjang
jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di
mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin
atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak,
juga nafasmu
di jalan raya kehidupanku

Membayangkan wajahmu
aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang
menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling
memandang lama
melepas beliung abai yang
menyiksa selama ini

9
:aku telah berjuang untuk
melupakanmu
Seperti baru kemarin kau
datang dan kita bicara
sambil menatap ubin
dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin kau,
sebab
ada yang lebih penting kau
selesaikan

Seperti angin yang tak
sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan
datang setelah urusan
selesai
Bagaimana kalau dia yang
tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus
kuabaikan?
Siapa yang perlu
kulupakan?

Kita terdiam mengamini ubin,
dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di
ruang tamu, kendaraan lalu
lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning
melintas
mungkin sebentar lagi
gerimis

Dalam sepi itu tiba-tiba kita
pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita
sesuatu, semacam
hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan

Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak
akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari
lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi momen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong
sampah

10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah
menapaki mula
juga mungkin tak pernah
sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu

11
Hai

katamu aku tetap
perempuan itu
tak henti menyelami lautan
huruf
demi yang maha cinta

dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan
tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima

A. Pendahuluan

Menurut Rachmat Djoko  Pradopo, bahwa ada keragaman gaya ataupun tema dalam perpuisian Indonesia mutakhir, yaitu gaya mantra, puisi mbeling, gaya imajis, dan warna vokal. Sementara itu, puisi karya penyair dekade 1980-an cenderung didominasi oleh gaya kepuitisan surealistis (via Abdul Wachid, 2002 : 4 )
Surealistis merupakan penyifatan, yang dalam konteks ini lebih ditekankan pada peniruan ungkapan-ungkapan estetikanya belaka, atau sering disebut surealisme estetis. Surealitas merupakan bentuk kata bendanya yakni realitas diatas realitas (Dick Hartoko, B. Rahmanto,via Abdul Wachid B.S., 2002 : 3)
Gaya kepuitisan surealistis merupakan pencampuradukan antara gaya pelukisan realitas dengan angan. Pada konteks itu, menurut H.B. Jassin, realitas didalam karya sastra telah menjadi realitas yang lebih dari realitas biasa ( surealitas ) sehingga menjadi sukar dicerna dengan logika biasa. Alam benda dan alam angan berbaur dalam keseruangan dan kesewaktuan ( simultanitas ). Atau, dalam istilah Dami N. Toda adalah berbaurnya realitas formal dan realitas imajiner  ( via Abdul Wachid B.S.,2002: 6 ). Hal ini berangkat dari konsep surealisme yang memanfaatkan alam bawah-sadar memberontaki belenggu rasionalisme, dan mengungkapkan irasional, impian, intuisi, asosiasi bebas; semua itu berpedoman pada psikoanalisis ala Sigmund Freud ( Hartoko dan Rahmanto, 1986 : 140, via Abdul Wachid B.S., 2002 : 6 ). Estetika surealisme menggunakan teknik “ arus kesadaran “ semacam teknik mimpi, fantasi, asosiasi bebas, dan transferensi yang pernah dikembangkan Sigmund Freud untuk psikoterapi.
Pada aspek gaya, kepuitisan surealistis diketahui dengan cara mengupas struktur bahasa sajak melalui unsur pembentuknya, seperti pilihan kata, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, dan gaya sajak. Unsur bunyi dan bentuk visual sengaja tidak disertakan karena keduanya tidak tampak mendukung kesurealitasan sajak.

B. Gaya Surealistik Pada Sajak Februari

Untuk menilai gaya surealistis pada sajak, terlebih dahulu harus dianalisis struktur kepuitisannya sebagai bagian dari keseluruhannya, seperti yang dikutip Abdul Wachid B.S. dari Knox C. Hill ( via Pradopo, 1987 : 120 ). Gaya surealistik dalam sajak dapat dipahami dan dinilai   diksi, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, dan gaya sajak.

1. Pilihan Kata

Kata adalah segalanya dalam sajak meskipun ada penyair yang kurang memperhitungkan kata sebagai kata dalam sajaknya, melainkan lebih menempatkan bunyi dan bentuk visual dalam merebut makna ( Abdul Wachid B.S., 2002:67)
Tetapi, secara umum kata ditempatkan sebagai hal yang vital dalam sajak sebab melalui kata penyair mampu menyampaikan pikiran dan perasaannya atau momen puitiknya meskipun dengan ketaklangsungan ekspresi dan bersifat arbitrer.
Tentang bahasa sajak, Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan, “ Kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair meskipun perannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun yang utama ialah sebagai pendukung imaji “ ( Budaya Jaya, no. 20, th. III, Januari 1970, via Abdul wachid B.S.)
Segala yang berkaitan dengan kata dalam sajak, dengan sendirinya berhubunga dengan pilihan kata. Demikian juga halnya dengan kata dalam sajak Helvy Tiana Rosa , surealitas apa pun imaji-imajinya, tetapi kata-kata dalam sajaknya masih bisa dimaknakan sebagai kata.
Pilihan kata dalam sajak Helvy Tiana Rosa erat kaitannya dengan keseharian dan akivitasnya,yaitu (pada saat itu) sebagai  mahasiswi dan seorang penulis. Hal itu terlihat pada sajaknya :” suara sapu ibu kos di/ruang tamu, kendaraan lalulalang/beberapa mahasiswa dengan jaket kuningmelintas” dan pada :“ katamu aku tetap/perempuan itu/tak henti menyelami lautan /huruf/demi yang maha cinta”
Pilihan kata yang digunakanpun mengikut pada ide dan membawakan kata  yang merujuk pada realitas empiris dan realitas transendensi, misalnya pada: “ setiap hari embun/meneteskan kesetiaannya”. Embun merujuk realitas empiris, sedangkan kesetiaan merujuk realitas transendensi.
Demikian juga pada: “ mengecup luka dan berkata/pergi dan pakailah/kerudung air matamu “,’ mengecup luka’ merujuk realitas empiris, sedangkan ‘kerudung air mata’ merujuk realitas transendensi. Dengan penggabungan dua realitas itu tak terhindarkan lagi sajak Helvy Tiana Rosa sarat bentukan imaji surealistik. Citraan surealistis dalam sajaknya itu pun dibentuk dengan berbagai teknik, diantaranya melalui proses simbolisasi dengan mengacu pada simbol-simbol alam, juga dengan proses metaforit (secara metafora, simile, alegori, personifikasi, disamping melalui sarana kepuitisan lain).

2. Bahasa Kiasan

Dalam pembicaraan sajak bahasa sering dihubungkan dengan seberapa jauh penyair menggunakan sebagai alat untuk mencapai kepuitisan. Sekalipun ada sajak yang tidak dominan menampilkan kiasan-kiasan,  dalam banyak hal kiasan dalam sajak itu penting peranannya sebagai upaya penyair menggandakan makna dalam sajaknya ( Abdul Wachid B. S., 2002 : 75 ).
Analisa bahasa kiasan pada sajak merupakan bagian penting dalam memahami dan menilai sejauh mana surealitas yang terkandung, sebab surealitas merupakan bagian dari gaya ungkap, atau sebagai sarana kepuitisan, dan salah satu dari sarana kepuitisan itu adalah bahasa kiasan. Menurut Michael Riffaterre, puisi menyatakan sesuatu yang berarti lain. Sejalan dengan itu, A.S Hornby menyatakan bahwa bahasa kiasan meliputi segala jenis ungkapan yang melibatkan penggunaan kata atau frasa dengan arti lain, selain arti harfiahnya ( via Abdul wachid B. S., 2002 : 75 ).
Ada beberapa bentuk kiasan yang menonjol atau sengaja ditonjolkan sebagai karakteristik sajak Helvy Tiana Rosa, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
a. Metafora dan Simil (e)
Metafora dan Simil (e) difungsikan untuk mengambil bentuk pembanding yang pada dasarnya tidak sama. Di dalam simil (e) perbandingan dinyatakan dengan kata-kata tertentu, misalnya “seperti”, “se”, “sebagai”, “bagaikan”, dan sebagainya. Bisa dilihat pada baris-baris sajak berikut :
setiap hari embun/meneteskan kesetiaannya/ pada pagi/seperti aku yang tak/pernah berhenti menari/dalam mimpi tentangmu/dan jatuh
setiap hari embun/meneteskan kesetiaannya/ pada pagi  sebagai unsur yang dibandingkan. Seperti sebagai mata rantai antara yang dibandingkan dengan unsur pembandingnya. aku yang tak/pernah berhenti menari/dalam mimpi tentangmu/dan jatuh sebagai unsur pembanding.
seperti gelombang yang/setia pada lautan/aku telah lama kau/campakkan
seperti  sebagai mata rantai antara yang dibandingkan dengan unsur pembandingnya. gelombang yang/setia pada lautan sebagai unsur pembanding. aku telah lama kau/campakkan unsur yang dibandingkan.
Di dalam metafora, tidak ada kata penghubung antara yang dibandingkan dengan pembandingnya, sehingga motif harus dicari sendiri oleh pembaca. Sehingga, arti sebuah metafora terjadi sebagai konfrontasi yang menyangkut unsur-unsur yang terlibat dalam proses metaforit. Seperti dalam baris sajak berikut :
Semua pejalan di bumi,/semua pencinta/pasti akan menderita
Dalam hal ini pecinta dibandingkan dengan pejalan di bumi yang sudah pasti banyak mengalami penderitaan.
Teknik metaforik seperti dalam sajak itu membandingkan dua hal yang berbeda hakikat dan sifatnya, tetapi tiba-tiba dikonfrontasikan.  Bukanlah meniadakan realitas empiris, sebaliknya justru memandang realitas itu secara menyeluruh ( holistik ), dengan prinsip bahwa dibalik realitas terkandung realitas yang lain.
b. Alegori dan Perumpamaan Epos ( Epic Simile )
Kecenderungan pemakaian sarana kepuitisan lain dalam sajak Helvy Tiana Rosa adalah pemakaian teknik alegori dan epic simile. Teknik epic simile mirip dengan alegori karena ada pembanding atau perumpamaan yang dilanjutkan. Gorys keraf mengatakan, “ Alegori adalah suatu cerita yang mengandung kiasan. Makna kiasan itu harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang yang abstrak. Menurut Pradopo, epic simile adalah perbandingan yang dilanjutkan, diperpanjang, yang dibentuk dengan cara melanjutkan sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frasa-frasa yang berturut-turut ( via Abdul Wachid B.S. 2002 : 92 ). Dalam sajak Helvy, dapat kita lihat penggunaan teknik alegori yang dapat kita lihat pada penggunaan kata-kata berikut :
jalan kaca yang retak itu, di kuntum hatimu, tak henti menyelami lautan/ huruf.
c. Simbol
Rene wellek dan Austin Warren pernah mengemukakan bahwa adanya simbol disebabkan wacana tidak langsung yang berbicara dengan bahasa metonimi dan metafora yang membandingkan dua dunia dan menyampaikan tema melalui pemindahan   dari satu idiom ke idiom yang lainnya. Dengan mengacu pada  pengertian kata kerja Yunani , Rene mencampurkan, membandingkan, dan membuat analogi antara tanda dan objek yang diacu. Kata Rene , “  Menurut teori sastra, sebaiknya dipakai dalam pengertian sebagai objek yang mengacu pada objek lain, tetapi juga menuntut perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan” ( Wellek dan Warren, 1990 : 235-240, via Abdul Wachid B.S. 2011 : 105 )
Sajak Helvy Tiana Rosa banyak  menggunakan simbol. Pemakaian simbol itu berdasarkan bentuk-bemtuk bahasa kiasan seperti metonimi, metafora, simile, sinekdoke ataupun personifikasi. Diantara penggunaan simbol-simbol itu pada sajak Februari dapat kita lihat pada baris-baris berikut ini :
Semua luka kita yang/mawar
di dalam bis yang membawa banyak orang
mengapa kau sisakan peta
menatap punggungmu
di kuntum hatimu
tak henti menyelami  lautan/huruf
Dalam proses metaforik, simbol yang bersifat individual itu dengan baik memberikan gambaran imaji. Dalam kata mawar contohnya, dalam keseharian mawar adalah hanya sejenis bunga yang indah, namun penyair menggunakan kata mawar untuk menyatakan sebuah luka. Disini dapat dibayangkan bahwa luka yang dialami penyair itu terasa sangat pedih, yang diperoleh dari pemaknaan duri-duri yang sangat tajam di balik keindahan mawar yang menggambarkan sebuah kenangan yang indah. Simbol individual di sini menunjukkan kreativitas dari penyair, yakni memaknai sesuatu yang berdifat sederhana dalam kehidupan sehari-hari menjadi sesuatu yang bermakna sangat dalam. Memang disinilah tugas penyair yang diumgkapkan oleh Sapardi Djoko Damono, “  Kata-kata tidak sekadar perperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung tidak bisa di lepaskan, namun yang umum adalah sebagai penghubung imaji. Hal inilah yang membedakan dari kata-kata dalam  bukan puisi .” ( Via Abdul Wachid B.S., 2010: 107 )

3. Citraan

Dalam sebuah sajak,yang terpenting adalah bagaimana penyair menghidupkan (apa) dunia yang dibangunnya melalui dunia bahasa yang khas yang dimilikinya. Kata “ menghidupkan” terhadap apa yang dibangunnyaitu tentu saja menyangkut keutuhan antar bentuk dan isi sajak, sebagaimana pernah diungkapkan Goenawan Mohammad, “…puisi..pertama-tama hadir sebagai keutuhan.” ( via Abdul Wachid B.S., 2010 : 131 )
Keutuhan itu perlu sebab sajak sangat mengutamakan kata-kata sebagai pendukung imaji meskipun kata-kata itu juga perperan sebagai lambang. Kata-kata sebagai pendukung imaji itu tidak lain adalah citraan. Dalam sajak, citraan umumnya digunakan dalam dua pengertian, yakni sebagai pengalaman indera,dan bentuk bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pengalaman indra itu. Tentu saja, sajak yang baik harus memperhitungkan adanya keutuhan antara bentuk dan isi, keutuhan-keutuhan penggambaran imajinya, sehingga mampu memberi nuansa berimajinasi dan berfikir pada pembaca ( Abdul Wachid B.S. 2010 : 131 ). Citraan yang ada dalam sajak Februari, dapat kita lihat sebagai berikut :
Semua pejalan di bumi,
semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap
gerak berarti
hingga malaikat pun sudi
mengecup
semua luka kita yang
mawar
engkaukah itu yang
berkata, cinta?
Realitas sebagai citraan  yang tampil dalam sajak Helvy Tiana Rosa diposisikan sebagai surealistis. Realitas menjadi surealistis , yakni pembauran antara yang empiris dan transedensi. Citraan –citraan itu bersifat abstrak, dan tidak seperti umumnya citraan konvensional.  Kata ‘pejalan’ menggambarkan sebuah realitas empiris dan kemudian digabungkan dengan kata ‘malaikat’ yang merupakan realitas transedensal, yang dalam hal ini diwujudkan sebagai deskripsi citraan yang empiris  dan lambang. Dengan citraan yang demikian, sajak Februari pun menjadi kelihatan abstrak.

C. Kesimpulan

Berdasarkan analisis struktural semiotik terhadap struktur kepuitisan, sajak “Februari” Helvy Tiana Rosa memiliki estetika sebagai sajak surealisme. Hal itu dapat kita lihat pada gaya pencitraan realitas, yang mensejajarkan antara bentukan realitas dengan bentukan imajiner. Dalam sajak tersebut, pembauran ini lebih diposisikan sebagia pembauran antara realitas empiris dengan realitas transedensi. Karenanya, realitas sajaknya jadi berganda, sebagai citraan yang bersifat keseharian dengan lambang yang membawa makna transedensi. Teknik seperti ini melalui teknik metaforik. Hasil pencitraan realitas dalam sajak menjadi sebuah bangunan dunia yang surealistis seperti mimpi penuh fantasi, yang didalamnya peristiwa demi peristiwa tidak bersambungan menurut urutan  waktu dan tempat, benda hidup dan benda mati berbaur tanpa konsekuensi logika dan kewajaran kenyataan.
Daftar pustaka :
  1. Abdul Wachid B.S., 2010.  Analisis Struktural Semiotik Puisi Surealistik religius D. Zawawi Imron, Yogyakarta : Cinta Buku.
  2. Abdul Wachid B.S., S.S., M. Hum. Dan Heru Kurniawan, S.Pd., M.A.,2010. Kemahiran Berbahasa Indonesia, Purwokerto : STAIN Press.
  3. Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.