Mencari Sebuah Buku

Mencari Sebuah Buku – Hari sudah semakin malam, namun tak tampak juga batang hidungnya, padahal tadi siang dia begitu menggebu-gebu, begitu penasaran mengenai buku itu, tak lama berselang akhirnya orang yang dimaksud akhirnya datang juga.

Aduh maaf, maaf tadi aku ketiduran bro, ucap Patih sambil melihatkan muka bersalahnya. Iya aku pikir tidak jadi, hampir saja aku tinggal pergi untuk mencari buku itu sendiri.

Tak lama berbincang akhirnya kita pergi menuju tempat disuatu pojok kota,  disana terdapat buku-buku lama yang sudah dilarang terbit oleh pemerintah karena dianggap berbahaya.

Diperjalanan kami sempat mengobrol tentang tokoh dibuku itu, dia adalah pentolan tokoh sosialis Indonesia, namanya Tan Malaka. Sosok ini yang membuat Patih sangat penasaran dibuatnya.

Gagasan dan pola pikirnya pada bangsa tak bisa dianggap sebelah mata, bahkan tokoh sekaliber Soekarno mengakui kehebatanya. Tan Malaka tidak hanya diakui di Indonesia namun juga dia bisa berkiprah di luar negeri, gagasan yang paling membuat dunia sosialis goncang adalah mengenai gagasan mengenai Pan-Islamisme. Sebuah konsep menggabungkan paham Sosialis dan Agama (Islam).

Selain bertanya tentang tokoh idolanya, tiba-tiba Patih bertanya tentang hal yang membuatku tertarik, yaitu kenapa pelajar sekarang jauh dari buku dan lebih dekat dengan gadget.

Iya juga ya tih? Padahal sudah jelas pelajar ya tugas dan pekerjaannya adalah belajar, mengapa malah mereka sekarang malah jauh ya dengan buku? Imbuhku, atau mereka mungkin sudah lupa dengan pepatah kali tih? Pepatah apa maksudnya? Dengan pepatah ini “buku adalah jendela dunia”. Candaku. Haha

Ah kamu bisa aja, ucap Patih dengan sembari menebarkan tawa, ya mudah-mudahan kekhawatiran kita salah, di gadget kan juga banyak informasi yang bisa mereka serap termasuk buku-buku elektronik yang sekarang mudah sekali kita akses.

Namun itu kan buku-buku umum sedangkan buku-buku yang bekualitas contohnya mengenai buku yang kita akan cari misalnya sulit ditemukan di Internet.

Sedang asyik-asyiknya kita berbincang tanpa sadar kita sudah sampai di depan toko buku bekas. Tempatnya biasa saja hanya berukuran kurang lebih 3×4 m, namun jangan Tanya buku-buku yang disediakan disana merupakan buku-buku lawas yang sudah jarang diterbitkan ulang.

Dan untuk sampai kesana kita memperlukan waktu kurang lebih 30 menit, lumayan jauh dari pusat kota, agak cape juga ternyata kita, namun itu semua lenyap dengan kehausan kita tentang buku-buku bacaan berbau filsuf. Di kota ini bacaanya hanya buku-buku cinta yang akhir-akhir ini banyak menjamur di kota-kota besar.

Segera kami turun melihat satu persatu buku itu, di depan sudah menanti seorang laki-laki paruh baya dengan kacamata tebal, itu adalah pemilik toko buku itu, namanya Bang Tohir.

Dengan senyum ramah bang Tohir menyambut kita, selamat sore, wah lama tak bertemu bagaimana kabar? Pasti kesini sedang mencari buku-buku yang tak tersedia lagi nih di toko-toko buku di kota sana.

Tau aja nih bang Tohir, jawabku seketika. Iya nih kami sedang mencari buku-buku karya Tan Malaka. Ini temanku tertarik sekali dengan tokoh tersebut setelah kemarin membaca biografinya.

Wah pas sekali kalian datang kemari, tadi saya baru saja dikirimi buku oleh kerabat Tan Malaka yang berjudul “Madilog” buku ini di Indonesia hanya tinggal puluhan saja. Beberapa tahun kemarin pemerintah kita genjar memusnakan buku-buku yang besifat sosialis.

Segera saja Patih ingin melihat buku itu, lalu diantarkanya ke pojok toko buku itu dibagian rak atas tempat penyimpanan berbentuk kotak besar disitulah biasanya bang Tohir menyimpanya buku-buku yang menurutnya menarik.

Meski sudah tidak baru dan sampul depan sudah sobek namun Patih kelihatanya sangat suka dengan buku itu, dibacanya lembar per lembar dengan teliti. Lalu dengan tersenyum Patih menoleh kearahku. Menandakan bawa dia suka sekali dengan buku itu.

Tanpa pikir pajang akhirnya Patih membeli buku itu dengan uang hasil tabunganya, ini adalah buku pertama Tan Malaka yang ia beli, lalu kami pun berpamitan untuk segera pulang.

Di dalam perjalanan pulang Patih bertanya kepadaku, gimana sih kamu sob, kita kan berteman sudah lama, mengapa kamu baru memberitahuku tentang toko buku lawas itu.

Kirain kamu hobinya “baca perempuan” buka hobi baca buku, Hahaha, lalu patih berkata “baca perempuan” itu penting namun baca buku tak kalah penting. Haha. Candaan itu menutup pembicaraan kita sore itu, dengan menarik gas pelan-pelan kita akhirnya pulang ke rumah masing-masing dengan hati gembira.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.