Sastrawan Dunia Asli Banyumas (Ahmad Tohari)

Sastrawan Dunia Asli Banyumas (Ahmad Tohari) – Siapa sekarang yang tak mengenal nama Ahmad Tohari? Namanya semakin berkibar di dunia sastra dan budaya lewat karya monumental trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.

Apa lagi setelah Novel itu di filmkan oleh sutradara Ifa Ifansyah dalam judul Sang Penari yang mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Dan banyak memenangi penghargaan termasuk film terbaik dalam ajang FFI ketika itu.

Nama Ahmad Tohari terus berkibar hingga beliau kerap kali muncul di seminar atau layar kaca baik dalam negeri maupun luar negeri.

Namun ternyata dibalik kebesaran namanya di daerah tempat beliau lahir dan dibesarkan Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas nama beliau masing begitu asing.

Bagi masyarakat umum asli Banyumas nama beliau masih kalah populer dari Taufik Ismail atau pun W.S Rendra dalam dunia sastra Indonesia.

Ahmad Tohari lahir di desa Tinggarjaya, Banyumas pada tanggal 13 Juni 1948 lahir dengan keadaan taraf ekonomi keluarga yang pas-pasan.

Masa kecil Ahmad Tohari dilewati seperti anak desa pada umumnya, kecintaan beliua terhadap desa tidak perlu diragukan lagi, beliau berkata “Saya dan desa tak mungkin bisa dipisahakan.

Karya-karya saya lahir dari sini, ide-ide yang muncul dari novel-novel saya juga tak jauh-jauh dari kehidupan orang desa, saya mengamati betul tingkah pola masyarakat desa, keadaan ekonomi dan lain sebagainya’.

Baca juga : Blogger Purwokerto terus menulis

Bertempat tinggal di desa Tinggarjaya, tepat di sebelah jalan raya, jalur selatan Jatilawang, rumah yang berdiri di atas lahan yang kurang lebih berukuran 2.300 meter persegi.

Merupakan surga bagi beliau, di depan teras rumah ditanami tanaman buah-buahan seperti rambutan, nangka dan manggis yang semakin membuat rumah itu semakin terasa sejuk.

Teras berukuran kurang lebih 5-6 meter dengan kursi khas Banyumasan melengkapi kenyamanan untuk sang empunya rumah.

Para tamu yang datang juga lebih nyaman untuk duduk di teras depan, mungkin karena bisa menyatu dengan lingkungan sekitar dan juga bisa mengamati kendaraan bermotor berlalu-lalang di depan jalan raya tersebut.

Ahmad Tohari (tengah) sedang berfoto bersama pemeran utama film Sang Penari di kediamannya.

Baca juga: Mendowan Purwokerto dan ngapak Banyumasan

Rumah beliau selalu terbuka untuk siapa saja tak peduli pejabat atau orang biasa, tua muda, miskin kaya,  beliau tak pernah membedakan, dan selalu ramah terhadap siapa saja.

Ketika berbincang beliau selalu memberi dorongan motivasi meski disela-sela obrolan yang sederhana, menurut beliau “anak muda harus banyak berkarya dan memberi manfaat bagi sesama”.

Ketika berbicara dengan anak muda beliau selalau menggebu-gebu, semangat untuk mendorong anak muda khususnya di daerah Banyumas untuk bisa berbuat bagi agama, bangsa dan negara.

Setelah tamat dari tingkatan sekolah pertama (SMP) beliau melanjutkan ke SMA 2 Purwokerto, sebuah sekolah peninggalan belanda yang kata beliau merupakan sekolah SMA paling tua di Banyumas.

Bangunan serta arsitekturnya masih asli hingga sekarang, tak banyak cerita yang bisa beliau ceritakan tentang masa-masa sekolah dulu, yang lebih menarik bagi beliau adalah bercerita saat-saat kuliah.

Masuk kuliah pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Ibnu Khaldun (Jakarta) namun tidak sampai selesai, Kemudian beliau pindah kuliah di Universitas Jendral Soedirman (unsoed) mengambil jurusan ekonomi pada tahun 1974.

Karya-karya beliau antara lain:

Kubah (novel, 1980)
Belantik (novel, 2001)
Jantara Bianglala (novel, 1986)
Bekisar Merah (novel, 1993)
Senyum Karyamin (novel, 1989)
Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)
Rusmi Ingin Pulang (novel, 2004)
Nyanyian Malam (novel, 2000)
Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)

Karya-karya novel Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam beberapa bahasa seperti Inggris, Jerman, Belanda, Cina, Japan. ini juga yang menyebabkan beliau mendapatkan penghargaan baik di dalam maupun luar negeri.

Penghargaan yang diperoleh Ahmad Tohari seperti: Rancage Award 2007, Southeast Asian Writters Award 1955, Kincir Emas Radio Nederlands Wereldomroep 1975, The Fellow Of The University Of Lowa 1990. Dan masih banyak penghargaan yang lain.

Selain bergelut dibidang sastra dan budaya beliau juga aktif di organisasi sosial masyarakat, beliau pernah ditunjuk sebagai anggota komite sastra Lesbumi yang bernaung di bawah bendera PBNU.

Namun kata beliau. Dia itu NU, tapi NU abangan. Meski seperti itu beliau juga dekat dengan Gus Dur bahkan anak-anaknya sudah menggangap beliau sebagai ayah.

Kritik yang membangun untuk warga Nahdliyin adalah hilangkan mental proposal, menurut beliau kurangi sifat meminta entah itu dari dana hibah pemerintah maupun swasta ini salah-satu penyebab mengapa warga Nahdliyin seakan tidak maju-maju, kata beliau.

Baca juga : Arti Banyumas Satria

Di dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) beliau juga aktif menyuarakan indahnya damai dalam perbedaan, apalagi untuk berbicara masalah sastra dan budaya.

Beliau sering diundang untuk mengisi seminar-seminar yang diadakan oleh kampus, komunitas sastra dan juga warga masyarakat biasa yang konsen diwilayah sastra maupun kebudayaan.

Kini beliau sedang menulis novel yang masih dirahasikan judulnya, kalau mengamati karya-karya Ahmad Tohari tidak akan jauh-jauh menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat desa.

Demikian artikel berjudul “Sastrawan dunia Asli Banyumas (Ahmad Tohari)” yang sudah mengharumkan nama Banyumas baik di dalam maupun luar negeri, semoga kelak akan lahir Tohari, Tohari baru di Banyumas.

Salam.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.