Mengurangi Emisi Di Atmosfer Sebagai Akibat Dekomposisi

Mengurangi Emisi Di Atmosfer Sebagai Akibat Dekomposisi – Dekomposisi bahan organik di alam berpotensi besar menghasilkan gas-gas yang menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca, disebabkan Indonesia merupakan negara agraris yang menghasilkan limbah pertanian yang sangat besar. Tanah pertanian  memberikan kontribusi terhadap emisi N2O sebesar 0,2-2,1 Tg  (Hansen & Bakken 1993). Gas N2O di atmosfer relatif lebih lama berada dibandingkan gas CO2 dan metana (Prinn et al. 1990), dengan sifat berpotensi pemanasan global 250-310 kali lebih tinggi daripada CO2 (Watson et al. 1992, Abao et al. 2000, Meiviana et al. 2004).

Dampak Limbah  Menambah emisi Atmosfer

Pemanfaatan pupuk sintetis, pembakaran hutan dan dekomposisi limbah pertanian akan menghasilkan gas metana (Holzapfel, 2003). Dekomposisi sampah, khususnya zat organic dalam kondisi anaerobic dapat mengakibatkan produksi gas bio. Secara garis besar proses pembentukan gas bio dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifikasi (pengasaman) dan pembentukan gas metana (Agung,2006).

Biodigester (pengolahan limbah organik dalam wadah) menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan, hasil buangannya (sludge) yang telah terdekomposisi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic. Pupuk ini berguna sebagai pupuk alternatif yaitu pupuk pengganti pupuk kimia. Pembuatan Pupuk organic dengan media biodigester mempunyai kelebihan mengurangi produksi emisi gas terutama N2O ke atmosfer. Pupuk organic juga ramah terhadap lingkungan jika disbanding dengan pupuk buatan.

Dekomposisi bahan organik di alam berpotensi besar menghasilkan metana disebabkan Indonesia merupakan negara agraris yang menghasilkan limbah pertanian yang sangat besar. Secara umum, limbah pada sektor pertanian menghasilkan emisi gas rumah kaca dari sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran hutan dan dekomposisi limbah pertanian yang menghasilkan gas metana (Holzapfel, 2003). Menurut The First National Comunication secara umum limbah pertanian menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 8% lebih tinggi dibandingkan sektor lain.

Kerusakan lingkungan disebabkan emisi gas rumah kaca, Gas Rumah Kaca (GRK) adalah istilah kolektif untuk gas-gas yang memiliki efek rumah kaca, seperti klorofluorokarbon (CFC), Dinitrogen Oksida (N2O).

Beberapa gas tersebut memiliki efek rumah kaca lebih besar daripada gas lainya dan beberapa bersifat toksik. Sebagai contoh, metana memiliki efek 20-30 kali lebih besar daripada CO2. Sumber-sumber metana mencakup lahan persawahan dan limbah pertanian, peternakan sapi, industry minyak dan gas, setra tempat-tempat pembuangan sampah (TPA). Karena besarnya efek rumah kaca gas metana, usaha-usaha penanggulanganya seharusnya diarahkan kepada pengendalian sumber-sumber emisi metana tersebut ( Suprihatin,2007).

Protokol Kyoto, sebuah kesepakatan internasional yang bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2 persen pada tahun 2008-2012 di bawah tingkat emisi gas rumah kaca rata-rata tahun 1990, akhirnya efektif berlaku sejak hari Rabu ( 16/2), tepat Sembilan puluh hari setelah Rusia meratifikasinya. Bagi Negara yang sedang berkembang yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, seperti Indonesia kewajiban untuk mengurangi emisi karbon tidak ada, tetapi diberi kesempatan untuk berpartisipasi. Perlu diketahui bahwa tanggal 28 Juli 2004 Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto sehingga saat itu Indonesia menjadi Negara ke-124 yang meratifikasi Protokol Kyoto(http://diglib.ampl.or.id/detail.,htm).

Tanah sawah merupakan salah satu sumber antropogenik utama gas dinitrogen oksida N2O  yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (IPCC 2006). Kosentrasi N2O di atmosfer dilaporkan mengalami peningkatan dengan laju 0,25% setiap tahun  (Hansen & Bakken 1993, Snyder et al. 2009). Sistem sawah tadah hujan dengan kondisi basah-kering berpengaruh terhadap pola atau dinamika emisi gas dinitrogen oksida. Kondisi tergenang merupakan kondisi ideal bagi pembentukan gas metana (source) dan rosot (sink) bagi gas dinitrogen oksida, sedangkan kondisi kering berfungsi sebagai rosot metana, dan sumber bagi gas dinitrogen oksida (Xiong et al. 2007).

Pemberian bahan pembenah organik pada tanaman budidaya diduga memacu peningkatan aktivitas mikrobia denitrifikasi dan emisi N2O (Meijide et al. 2009). Emisi N2O alami dapat meningkat akibat berbagai ragam kegiatan pertanian. Kegiatan tersebut secara langsung menambah pasokan nitrogen ke dalam tanah yang dapat dikonversi menjadi N2O (USEPA 2006). Menurut Laegreid et al. cit Gold & Oviatt (2005), rata-rata 1,25% N yang ditambahkan ke dalam tanah sebagai pupuk atau limbah organik atau fiksasi hayati ditransformasi menjadi N2O.

Pembahasan

Peningkatan emisi gas rumah kaca semakin hari semakin meningkat. Salah satu sektor penghasil emisi gas rumah kaca adalah pertanian, menurut The First National Comunication secara umum limbah pertanian menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 8% lebih tinggi dibandingkan sektor lain. Klorofluorokarbon ( CFC ), Dinitrogen Oksida ( N2O), gas tersebut memiliki efek rumah kaca lebih besar daripada gas lainya. Sebagai contoh, metana memiliki efek 20-30 kali lebih besar daripada CO2 ( Suprihatin,2007).

Gas N2O secara alami dihasilkan dalam tanah melalui proses mikrobiologis, denitrifikasi dan nitrifikasi. Proses tersebut dipengaruhi oleh bahan organik tersedia, pasokan nitrat, ketersediaan oksigen, kandungan air tanah, reaksi tanah (pH), suhu tanah dan kehadiran tanaman (Byrnes cit Hansen & Bakken 1993, Snyder et al. 2009). Tanah pertanian memberikan kontribusi terhadap emisi N2O sebesar 0,2-2,1 Tg (Hansen & Bakken 1993). Gas N2O di atmosfer relatif lebih lama berada dibandingkan gas CO2 dan metana (Prinn et al. 1990), dengan sifat berpotensi pemanasan global 250-310 kali lebih tinggi daripada CO2 (Watson et al. 1992, Abao et al. 2000, Meiviana et al. 2004).

Bakteri nitrifikasi (Nitrosomonas dan Nitrobacter) yang merupakan bakteri kemoautotrofik berperan dalam proses nitrifikasidenitrifikasi yang bertanggung jawab terhadap hilangnya N dari lahansawah (Minami & Fukushi, 1984). Pada kondisi tanah reduktif, bakteri anaerobik fakultatif denitrifikasi mengubah nitrat menjadi molekul nitrogen (N2O, N2) (Yoshida 1978). Menurut Klemedtson et al. (1988), beberapa mikroorganisme tanah yang mampu menghasilkan gas N2O yaitu bakteri nitrifikasi, bakteri denitrifikasi, bakteri nondenitrifikasi pereduksi nitrat, jamur pereduksi nitrat atau jamur lain.

Peran bakteri nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N2O) atau gas nitrogen (N2). Dari data-data di atas sangat dibutuhkan adanya solusi untuk mengurangi atau menekan produksi emisi gas rumah kaca yang semakin hari semakin memprihatinkan. Pemanfaatan limbah organic pertanian secara benar dapat mengurangi emisi gas khususnya untuk gas Dinitrogen Oksida (N2O).

Pemanfaatan media biodigester ( pengolahan limbah organik) akan mengurangi produksi emisi gas. Gas yang keluar berupa biogas yang dapat digunakan dan ramah lingkungan, hasil buangannya (sludge) dapat dimanfaatkan sebagi pupuk organik yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

Gas yang keluar ditampung menjadi biogas yang bermanfaat. Hasil buangan berupa pupuk organik yang diberikan tidak lagi mengalami pengkomposan di udara terbuka, dan bisa langsung dimanfaatkan oleh tanaman.

Dekomposisi adalah proses pengomposan atau pembusukan bahan-bahan organic dengan bantuan mikroorganisme pendekomposisi yang menghasilkan bahan organic yang lapuk yang mudah diserap oleh tanaman. Dekomposisi sampah, khususnya zat organic dalam kondisi anaerobik dapat mengakibatkan produksi gas bio yang dapat dimanfaatkan. Secara garis besar proses pembentukan gas bio dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifikasi ( pengasaman ) dan pembentukan gas metana ( Agung,2006). Tekhnik dekomposisi dengan menggunakan biodigester yang menghasilkan biogas. Prinsip kerjanya limbah pertanian ditumpuk atau dikumpulkan begitu saja dalam media biodigester, setelah beberapa waktu dengan sendirinya akan membentuk gas metan.

Untuk menampung gas dibuat beberapa model konstruksi alat penghasil biogas yaitu jenis biodigester ( pengolahan limbah ) yaitu (bak) jenis digester yang pengisisn organic dilakukan sekali sampai penuh, kemudian ditunggu sampai biogas dihasilkan, setelah biogas mulai berproduksi. Pada pengisian awal digester diisi penuh, lalu ditunggu sampai biogas bereproduksi. Setelah berproduksi, pengisisn bahan organic dilakukan secara kontinyu dan bahan organik yang baru akan selalu diikuti pengeluaran bahan (sludge ) (Arsal, 2008).

Proses dekomposisi secara umum terjadi pada tiga tahap, pertama dekomposisi aerobic yang mendominasi keseluruhan proses, tahap ini biasanya sangat pendek karena terbatas pada jumlah oksigen dan nilai BOD yang tinggi dari limbah padat. Setelah oksigen menurun, dekomposisi oleh organism fakultatif anaerobiklah yang mendominasi. Selama tahap ini volatile fatty acid dalam jimlah yang besar diproduksi.

Asam ini menurunkan pH hingga antara 4-5. Dengan pH yang rendah membentuk bahan organik melarut, bersamaan dengan kosentrasi volatile acid yang meningkat, menghasilkan kekuatan ion yang tinggi. Tahap kedua dari proses anaerobic terjadi ketika jumlah bakteri methanogenesis meningkat. Volatile acid yang diproduksi oleh bakteri fakultatif anaerobic dan bahan organic lain dirubah menjadi metana dan karbondioksida (Kharistya, 2005).

Pada tahap hidrolisis, bahan organik dienzimatik secara eksternal oleh enzim ekstra seluler (selulosa, amylase, protease dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek.

Pada tahap ini bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil prosea pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hydrogen dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang larut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerob tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alcohol, asam organic, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas metana.Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hydrogen CO2 dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2.

Bakteri penghasil asam dan metana bekerja sama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfer yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiosis tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam (kharistya, 2005).

Biodigester adalah pengolahan limbah pada media atau wadah tertutup, biodigester limbah organic adalah proses dekomposisi bahan-bahan organic pada wadah yang terkontrol. Biodigester ini sangat bermanfaat, hasil biodigester adalah berupa biogas yang digunakan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan. Biodigester ini juga menghasilkan produk buangan yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic yang mampu menekan pelepasan emisi gas rumah kaca terutama N2O ke atmosfer. Gas metana, N2O, CO2 dan gas yang la. Gas akan ditampung dan dimanfaatkan sebagi biogas sehingga mengurangi gas metana dan gas lain yang akan menguap ke atmosfer bumi.

Bacaan lebih lanjut :

Abao Jr, EB., KF. Bronson, R. Wassmann, & U. Singh. 2000. Simultaneous records of methane and nitrous oxide emission in rice-based cropping systems under rainfed conditions. Nut. Cyc. Agroecos. 58: 131-139.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.